Minggu, 04 Maret 2012

Pemilukada Butuh Cinta

Oleh Azwir Nazar

“dari pada tameuprang, goet tameugeet, atra bansot, atra bansa, syedara pihna”

Putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi waktu 7 hari pendaftaran bagi kandidat dalam Pilkada Aceh menjadi awal masa depan politik Aceh. Putusan no.1/SKLN-X/2012 itu lahir setelah adanya gugatan Mendagri ke KPU dan KIP terkait sengketa kewenangan antar lembaga negara. Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan KIP Aceh dan Kabupaten/Kota untuk membuka kembali pendaftaran calon baru selama 7 hari. Sebelumnya, MK pernah mengeluarkan putusan yang sama, 3 November lalu.

Menurut Jusuf Kalla, tokoh yang berperan dalam perdamaian Aceh, keputusan MK tersebut sudah tepat dan KPU memberikan penghargaan kepada MK dengan memutuskan untuk menunda sementara pemilukada Aceh. Harapan JK, penundaan ini supaya seluruh kekuatan politik di Aceh mampu terakomodasi dan dapat bersatu, sehingga penyelenggaraannya dilakukan secara demokratis. Dalam pertimbangan hukum sendiri MK menjelaskan jika keputusan KIP Aceh no 26. Tahun 2011 tidak ditindaklanjuti akan menimbulkan gangguan keamanan dan kamtibnas, dalam pelaksanaan Pemilukada (Tribunnews, 19/1).

Lazimnya, secara hukum tidak ada lagi alasan MK mengeluarkan putusan sela sampai dua kali pada satu perkara. Tapi sebagaimana dikatakan Jusuf Kalla bahwa keputusan ini lebih untuk kelanggagengan damai di Tanah Rencong. Lalu, MK mengamanatkan pemilukada tetap berlangsung tepat waktu yaitu 16 Februari. Meski dalam waktu 7 hari itu KIP juga harus melaksanakan verifikasi serta tahapan lain sampai bakal calon menjadi calon.

Ini tentu akan merepotkan KIP yang sebelumnya juga mengalami beberapa kali penundaan. Apalagi munculnya calon perseorangan. Pasti akan memakan waktu lebih panjang, terutama verifikasi faktual fotocopy KTP pendukung calon. Maka, KIP kemudian mengusulkan pencoblosan digeser menjadi 9 April saja.

Konstelasi politik Acehpun berubah. Mendaftarnya kandidat PA, Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf, disusul dua pasangan independen masing-masing Hendra Fadli/Yuli Zuardi Rais dan Fakhrulsyah Mega/Zulfinar akan menjadi babak baru pertarungan kursi Aceh 1.

Pihak patahana (incumbent) yang lebih diunggulkan sebelumnya, harus berusaha dan berjuang lebih kuat untuk bisa menang. Apalagi ceruk pasar yang diperebutkan satu sama lain saling beririsan dan tidak jauh berbeda. Hanya Partai Aceh yang lebih berani tampil beda dengan menggarap massa ideologis di akar rumput. Sehingga identitasnya lebih mudah dikenali dan menjadi diferensiasi dengan kandidat lain.

Sebagai partai pemenang pemilu dan kekuatan politik dominan di Aceh, PA mengklaim akan meraih 60 persen suara. Mereka juga mendaftar di level Kabupaten/Kota, seperti Aceh Utara, Lhoksemawe, Aceh Jaya, dan Pidie. Padahal sebelumnya, PA bersikeras meminta penundaan Pilkada dan menolak mengakui semua tahapan yang dilangsungkan KIP. Dengan alasan tidak ada payung hukum, dan menuding KIP telah ‘mengangkangi’ DPRA.

Munculnya kandidat baru sepertinya akan membuat tahapan Pilkada Aceh berlangsung lebih lama dari jadwal semula dan kemungkinan bergesernya hari H pencoblosan tak terelakkan. Malah, untuk level Gubernur bisa saja terjadi 2 (dua) kali putaran. Mengingat ada 7 (tujuh) pasangan yang akan bertarung.

Mendaftarnya PA harus dilihat sebagai langkah positif menuju kestabilan politik di Aceh dan patut diapresiasi. Masalah pilihan tentunya semua terserah rakyat Aceh. Apalagi sebulan belakangan kisruh pemilukada ini telah memicu memanasnya situasi keamanan di Aceh. Seperti diketahui terjadi lima kasus penembakan yang menewaskan enam warga sipil dan melukai orang lainnya. Kekerasan bersenjata itu terjadi di Biereun, Banda Aceh, Aceh Utara dan Aceh Besar. Kasus terakhir adalah pemberondongan terhadap rumah salah seorang kandidat Bupati di Aceh Utara (Kompas, 14/1).

Partisipasi Politik Rakyat
Kini, hasrat politik elit sudah terpenuhi. Setelah beramai-ramai berhasil menjadi kandidat. Situasi Acehpun relatif aman. Semoga terus membaik tidak saja di permukaan. Saatnya kaum elit dan para kandidat memberi ruang bagi rakyat untuk berpartisipasi. Sehingga rakyat lebih antusias mensukseskan pemilukada.

Karena demokrasi memberi ruang untuk rakyat berpartisipasi dalam politik. Partisipasi politik merupakan aspek penting dari demokrasi. Rakyat melakukan partisipasi politik karena berasumsi bahwa kepentingan dan kebutuhannya tersalurkan atau diperhatikan. Partisipasi politik disini tidak sebatas pemberian suara pada pemilu. Meski pemilu dipakai sebagai lambing dan tolak ukur dari sistem demokrasi (Marriam Budiarjo, 2008)

Maka tidak berlebihan bila rakyat menghendaki dan berharap Pilkada ini berlangsung damai, jujur, adil dan bebas teror. Sehingga, hasrat rakyat menyalurkan aspirasi sebagai bentuk sirkulasi penggantian elit pemerintahan lima tahunan terpuaskan.

Pilkada ini butuh cinta. Terutama di mulut dan prilaku para kandidat. Berikut tim suksesnya. Dengan cara berlomba menyusun visi misi, program, dan strategi pemenangan yang pro rakyat. Tidak mengeluarkan pernyataan yang kontraproduktif dengan semangat perdamaian. Mari kita berkompetisi dalam suasana penuh cinta. Dengan belajar menghargai perbedaan dan pilihan politik. Toh, demokrasi sendiri bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Bukan sebaliknya, atas nama demokrasi kita menebar benih kebencian dan menyusahkan masyarakat.

Saatnya pula kita satukan energi positif untuk mengisi era damai untuk membangun Aceh. Pemilukada bukanlah segala-galanya. Masih banyak agenda lain yang mesti kita tuntaskan. Akhirnya dengan bergandengan tangan, sama-sama kita sempurnakan bait-bait lagu Rafli diatas dengan senandung lantang dan penuh cinta. “gaseeh ngon sayang, rahmat neulimpah, neubri keuh Allah keu kamoe dumna, tamumat jaroe getthat meutuah, meunan geusurah rasulambiya, desya peuampon Allah tuhanku, beupengeuh hatee keu kamoe dumna”. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia

*dimuat di Tabloid MODUS Aceh edisi februari 2012

Aceh Sayang Buruh

Oleh Azwir Nazar
Sebagai orang Aceh saya sedih dan bersimpati atas musibah yang menimpa buruh di Aceh. Apapun alasan dan siapapun yang melakukan penembakan terhadap mereka harus dikutuk. Saat masa rehab rekon Aceh saya tahu persis derita sebagian besar buruh ini. Terutama buruh bangunan yang datang berduyun dari luar Aceh pasca tsunami. Sebab, rumah saya dan rumah bantuan di desa kami di kerjakan "tukang impor" tersebut. Umumnya berasal dari dari Sumatera Utara, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Meski ada yang belum berpengalaman di bidangnya, tapi mereka pekerja keras. Sering sekali buruh kecil ini ditipu kontraktor. Mulai gaji yang terlambat atau tidak dibayar, alasan material yang macet, sampai tempat tinggal yang tak menentu. Ada yang kepulangannyapun terkatung-katung. Syukur, bila ada penduduk yang punya kemudahan memberi mereka makanan enak, kopi dan rokok saat bekerja. Sebagai bentuk keramahan orang Aceh walau sedang ditimpa musibah tsunami. Hingga, ada diantara mereka memilih menetap, bekerja dan berkeluarga di Aceh. Apalagi bila punya skill lebih dan bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Cuma tidak banyak yang bernasib demikian.

Pasca rehab rekon memang banyak peluang bekerja di Aceh. Begitu pesat pembangunan infrastruktur, merangsang pekerja luar datang ke Serambi Mekkah. Bagi orang Aceh kedatangan ini sangat menguntungkan. Karena upah buruh bangunan ini lebih murah. Lebih gesit, giat, dan ada yang bekerja 24 jam. Orang Aceh sendiri sangat welcome terhadap pendatang. Dari zaman dahulu sudah dikenal kosmopolit-nya Aceh. Disisi lain, kedatangan pendatang ini ikut membantu tumbuh dan berkembang perekonomian Aceh. Ada malah yang memperluas ekspansi bisnisnya ke sektor lain. Terutama usaha makanan. Masyarakat Aceh terkenal sangat konsumtif. Maka, jangan heran bila anda ke Banda Aceh misalnya, dengan mudah menemukan warung makan Wong Solo, nasi uduk, ayam penyet dan banyak lagi makanan asal Jawa.

Penembakan buruh, petani, penjaga toko, pekerja bangunan dan warga pendatang ini rasanya tidak logis. Ditengah harmonisnya pola hubungan masyarakat dengan warga pendatang. Maka, wajar bila Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar menegaskan, siapa pun yang menetap di Aceh, termasuk pendatang untuk bekerja mencari nafkah harus dilindungi dan mendapatkan rasa aman. Perdamaian Aceh sangat mahal harganya. (Kompas, 7 Januari 2012)

Terkait Pemilukada
Seperti diketahui, dalam sebulan terakhir terjadi lima kasus penembakan yang menewaskan enam warga sipil dan melukai orang lainnya. Kekerasan bersenjata itu terjadi di Biereun, Banda Aceh, Aceh Utara dan Aceh Besar. Kasus terakhir adalah pemberondongan terhadap rumah salah seorang kandidat Bupati di Aceh Utara (Kompas, 14/1).

Kisruh politik antar elit di Aceh terkait pelaksanaan Pemilukada yang dijadwalkan 16 Februari mendatang memang makin rumit. Kedua kubu baik yang menghendaki pilkada tepat waktu maupun yang meminta penundaan memiliki kekuatan berimbang. Kedua pihak merasa paling benar dengan tafsir dan argumentasi hukum masing-masing. Bisa-bisa pilkada Aceh ini mengalami “chaos”. Bila ini terjadi akan mempengaruhi kestabilan politik Aceh 5 tahun mendatang. Sedangkan rakyat terperangkap di tengah dua kekuatan eksekuti dan legislatif ini.

Tapi untungnya PA mundur selangkah untuk meminta MK dapat membuka kembali pendaftaran. Akhirnya Selasa(17/1) MK meminta KIP untuk kembali membuka pendaftaran, sehingga bagi para pihak dapat mendaftarkan calon. Putusan sela selama 7 hari ini merupakan putusan kedua MK yang 3 November dulu pernah juga pernah dikeluarkan. Akhirnya PA mendaftarkan diri sebagai kontestan dalam Pemilukada Aceh.

Pihak yang ingin pilkada dilanjutkan menganggap tidak ada alasan hukum untuk menunda. Awalnya, Partai Aceh (PA) yang menguasai parlemen Aceh (DPRA) menolak semua tahapan pilkada Aceh karena alasan tidak ada payung hukum. Komite Independen Pemilu (KIP) Aceh terus melanjutkan tahapan pilkada yang sudah tiga kali bergeser. Bahkan komisioner KIP mengancam mundur kalau pilkada ditunda. Pihaknya paling repot kalau ditunda terus dan tidak ada kepastian.

Situasi Aceh sangat dilematis. KPU meminta fatwa kepada MK untuk menyelesaikan perkara ini. Tapi MK bergeming tidak punya kewenangan mengeluarkan fatwa. Lalu, Mendagri pun menggugat KPU ke MK untuk meminta penundaan Pilkada. Sebaliknya, Eksekutif Aceh berpendapat bila Pilkada ditunda, maka 117 kandidat sekarang ini diseluruh Aceh tidak akan tinggal diam dan akan balik menggugat. Sebab, bilapun terjadi penundaan tidak menjamin situasi Aceh lebih aman. (Kompas, 12/1)

Putusan MK
Akhirnya, MK memutuskan Pemilukada Aceh boleh ditunda sampai 9 April. Sementara pendaftaran calon ditutup. Dalam sidang pembacaan putusan akhir di Gedung MK, Jakarta, Jumat (27/1). Dalam pertimbangannya MK menyebutkan meskipun keamanan di Aceh cukup kondusif dan aparat keamanan siap mengamankan pelaksanaan pemilukada sesuai jadwal, namun mengakomodasi masukan berbagai kepentingan politik dan masalah sosial, MK perlu membuat putusan yang dapat memberi kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat terkait pemilukada tersebut.

Padahal, pasca damai, eks GAM menguasai eksekutif dan legislatif. Bahagian penting cita-cita MoU sudah tercapai. Meski masih banyak yang perlu diperbaiki dan diperjuangkan karena masih ada klausul MoU yang bertentangan dengan UUPA. Lalu, alangkah sedihnya ketika legislatif (DPRA) bertengkar dengan eksekutif dan kedua belah pihak meminta peradilan di Jakarta. Dulu meminta self government, tapi sekarang malah ramai-ramai merujuk dan meminta fatwa Jakarta.

Belajar dari Pemilu 2009
Bila belajar dari pemilu legislatif April 2009 lalu, juga terjadi peningkatan eskalasi kekerasan 3 bulan menjelang hari pencoblosan. Berdasar catatan Kontras, ada 29 kasus kekerasan selama pemilu 2009. Kasus-kasus itu terjadi periode Januari sampai Mei berupa penyiksaan, penganiayaan, hingga pembunuhan. Misalnya, Januari terjadi pelemparan granat terhadap Ayah Banta(PA), Februari terjadi pembunuhan terhadap M Nur dan Abu Karim, serta pelemparan granat, pembakaran dan perusakan baliho kandidat.

28 Maret 2009 SBY berkunjung dan berkampanye di Aceh. Seketika itu keadaan Aceh beransur baik dan aman. PA dan Demokrat lalu menjadi pemenang pemilu. PA menguasai Aceh dengan menguasai 33 dari 69 kursi parlemen Aceh. Partai lokal lain rontok dan tidak ada yang mencapai ambang 3 persen suara. Sementara Demokrat menang sampai 94 persen di Aceh. Sangat fantastis.

Semoga situasi Aceh bukan sengaja diciptakan untuk ‘menghangatkan’ politik menjelang pilkada Aceh. Lalu membangun ‘deal’ atau kompromi politik antar pihak. Mengingat, melihat motif penembakan, target, sasaran dan pola yang terjadi belakangan sepertinya dilakukan oleh kelompok professional dan terlatih. Bukan motif ekonomi karena petrus tersebut tidak mengincar harta korban.

Kalau ini yang terjadi alangkah kejamnya. Mengorbankan buruh yang tak berdosa dan berupaya membenturkan rakyat Aceh dengan etnis tertentu dengan memanfaatkan kisruh elit di Aceh. Maka, seharusnya para elit menunjukkan kedewasaan dan jiwa besar dalam berpolitik. Pilihan damai dan demokrasi yang menandai berakhirnya konflik haruslah tetap menjadi komitmen bersama. Tentu saja tetap berpihak rakyat. Maka, teror terhadap buruh harus segera berakhir. Pemerintah harus bisa menjamin keamanan warga dan bersatu menghadapi teror. Obsesi demokrasi sendiri adalah untuk kesejahteraan rakyat, bukan justru menebar kebencian dan kekerasan. Dan, karena warga pendatang juga saudara kita. Maka, pemerintah dan seluruh rakyat Aceh wajib pula menjaga mereka. Menyayangi mereka sebagai saudara sendiri. Kapanpun Pemilukada berlangsung!

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI, Pengurus DPP KNPI 2011-2014.

Film Bagus Pemilukada

Oleh Azwir Nazar
Istillah ‘film bagus’ ini pertama sekali dilontarkan Wagub Muhammad Nazar, salah satu-kandidat Gubernur Aceh menanggapi putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh untuk membuka kembali pendaftaran pasangan calon baik Gubernur/wakil maupun 17 Bupati/walikota di Aceh. Harapan Nazar pemilukada ini lebih baik dan berkualitas di banding pemilu 2006 dan pemlilu legislatif 2009, (17/1).

Nazar menukilkan Pilkada Aceh seperti film saja. Dan makin banyak yang bermain, akan makin bagus filmnya. Lain Nazar lain pula Irwandi Yusuf. Irwandi menganggap dirinya orang biasa dalam pertarungan Pemilukada ini. Padahal sebenarnya memegang peran penting sebagai Gubernur. Dalam sebuah media online (25/1) ia mengatakan bila masyarakat Aceh ingin memilih dari kalangan perjuangan, pilih Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf. Jika ingin dari kalangan Profesor pilih Darni Daud. Jika ingin dari kalangan ulama pilih Abi Lampisang. Jika mau dari kalangan bangsawan pilih Muhammad Nazar. Dan, jika masyarakat ingin Gubernur dari kalangan biasa saja, pilih saya. Begitu kira-kira Pernyataan Bang Wandi.

Sebelumnya, Zaini Abdullah pernah juga melontarkan sebuah pernyataan menarik di media saat konferensi pers usai mendaftar di KIP Aceh (20/1). Mantan Mentroe Kesehatan GAM ini mengatakan ada masa kita mundur, ada pula masa kita maju. Menurut mantan Juru runding GAM ini, bukan soal maju atau mudurnya, tapi ini adalah win-win solution untuk kepentingan kelanjutan perdamaian. Politik adalah sesuatu yang tak bisa diprediksi. Terkadang di satu waktu harus ada langkah mundur dan di waktu yang lain perlu maju. Jawabnya sangat diplomatis menjawab pertanyan wartawan karena sebelum keputusan sela MK kedua, PA tidak mendaftar.

Prof Darni Daud juga tidak mau ketinggalan, ia melontarkan pernyataannya mengejutkan publik ketika mengatakan dirinya mendaftar agar Pilkada ditunda.Saya tidak dipilih oleh rakyat Aceh juga tidak apa-apa, yang penting pilkada bisa berjalan damai sesuai aturan. Dengan saya maju, saya harus dites kesehatan dan diuji membaca Alquran, itu membutuhkan waktu agar pilkada ditunda, kata pak Darni dalam sebuah forum diskusi (13/11).

Pemain baru, Hendra Fadli maupun Zulfahrulsyah Mega belum berkata-kata. Awalnya karena mungkin mereka merasa belum ‘aman’. Sebab, belum diverifikasi faktual fotokopy KTP dukungan oleh KIP. Walau dalam test mengaji, Zulfinar, calon wakil dari Zulfahrulsyah Mega meraih pemuncak satu. Tapi, akhirnya mereka gagal menjadi calon karena tidak mencukupi syarat. Saya mendengar salah satu pasangan akan menggugat KIP. Sementara Abi Lampisang kelihatan slow. Dan cukup senang dengan pilihan jatuh no 1. Kubu Abi tidak terlalu banyak tampil di media.

Dan, ternyata tidak saja para kandidat yang angkat bicara. Kita mencatat Abdul Salam Poroh, ketua KIP pun megancam mundur bila Pemilukada ditunda (7/1). KIP memang sangat direpotkan dalam ‘film’ pemilukada ini. Bayangkan sudah 4 kali penundaan. Mulai Oktober, 14 November, 24 Desember, 16 Februari dan 9 April.

Pemilukada Aceh memang ibarat drama. Bukan saja para para kandidat yang bersahut-sahutan di media. Namun, juga proses panjang tarik ulur Pilkada ini sendiri. Bahkan menjadi kisruh antar elit yang memicu memanasnya situasi Aceh sebulan lalu. Kita belum tahu apakah perang urat saraf ini akan berlanjut atau justru berakhir dengan putusan MK, Jumat (27/1).

Kisruh Pilkada berawal ketika MK mengabulkan uji materi pasal 256 UUPA tentang calon perseorangan. DPRA yang mayoritas PA tidak mengakuinya. Lalu menolak semua tahapan pemilukada. KIP dituding ‘melangkahi’ DPRA sebagai representatif wakil rakyat. Sementara eksekutif sebaliknya menuduh DPRA mengulur waktu dengan tidak membahas raqan qanun Pemilukada. Kemudian KIP merujuk Qanun no. 7 tahun 2006 dengan mengakomodasi calon perseorangan. Kateganganpun dimulai. Sampai ada collingdown sebulan selama Ramadhan.

Film ini kemudian berlanjut pada aksi gugat menggugat ke MK. Situasi Aceh membara. Penembakan buruh dan warga sipil dengan etnis tertentupun berlangsung. Isu Aceh kemudian menjadi ‘hot’ dan top topik berbagai media nasional. Putusan sela MK pertama (3/11), memunculkan calon baru. Waktu Pemilukadapun bergeser. Mendagri lalu menggugat KPU dan KIP ke MK, sampai putusan sela MK kedua dan putusan akhir MK yang memutuskan penundaan Pilkada paling telat 9 April mendatang.

Teori Drama/FIlm
Dalam ilmu komunikasi, istilah drama atau film bukan hal asing. Apalagi dalam panggung politik. Dalam kampanye Presiden di Amerika sekalipun dipakai. BIla kita telusuri, ada istilah Dramatism. sebuah aliran yang menganggap bahwa politik adalah panggung sandiwara. Aliran ini dikenalkan oleh Kenneth Burke seorang kritikus pertunjukan drama dan pemerhati komunikasi pada akhir abad ke 19. Alat yang dia pakai untuk menganilisis dikenal dengan dramatic pentad. Metode singkat mengetahui ‘talk about their talk about’.

Erving Goffman (1959) dalam The Presentation of Everyday Life juga memperkenalkan tentang dramaturgi. Sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Individu dapat dapat menyajikan suatu “pertunjukan” apapun bagi orang lain, tapi impresi orang akan berbeda-beda. Di panggung politik, politisi menciptakan image terhadap penampilannya, tapi itu berbeda dengan realitas sebenarnya. Fokus pendekatan ini bukan apa, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka melakukannya. Prilaku ekspresif inilah disebut bersifat dramatik. Karena ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain terhadapnya.

Sejenak, film atau drama pemilukada ini memang jeda. Sepertinya alur sudah mulai menurun. Situasi Acehpun sudah lebih baik. Putusan akhir MK yang memutuskan Pemilukada 9 April dianggap sangat rasional. KIP pun tidak mungkin memaksakan hari pencoblosan 16 Februari, apalagi dengan munculnya calon perseorangan. Film bagus pemilukada ini akan berakhir atau justru baru memulai episode berikutnya, kita pantas saksikan bersama.

Hanya saja, kita berharap film bagus pemilukada Aceh ini jangan sampai orang lain sutradara dan produsernya. Elit Aceh lalu jadi pelakon saja. Rakyat Aceh penonton budiman. Lalu bertepuk tanganlah mereka yang ada di negeri lain. Karena melihat kita asik bertengkar!

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI dan Alumni Bahasa Arab IAIN Ar Raniry.


Minggu, 05 Februari 2012

Catatan Novel Hafalan Shalat Delisa

Oleh Azwir Nazar
Ini hanya catatan pribadi penyemangat untuk memotivasi diri menulis tentang Tsunami, dan juga teman-teman yang selamat dari bencana 2004 lalu itu. Terutama orang Aceh yang menjadi saksi hidup bagaimana selamat. Maka, saya menyempatkan diri 25 Desember 2011 lalu menonton film Catatan Hafalan Shalat Delisa di Blok M Jakarta. Kebetulan, kami menonton bersama rombongan mahasiswa Aceh. Banyak juga ibu-ibu dan anak-anak menangis usai menonton.

Novel Hafalan shalat Delisa adalah sebuah cerita seorang anak yang selamat dari tragedi Tsunami dan sangat menginspirasi. Bukan saja bagi masyarakat korban, tapi novel yang kini difilmkan itu juga menggugah penonton tentang bagaimana semangat hidup dan motivasi seorang anak yang selamat dari musibah.

Delisa, seorang anak asal LhokNga, sebuah daerah pesisir di Aceh Besar selamat dari amukan Tsunami meski harus kehilangan satu kakinya. Ia tetap saja seperti anak kecil yang polos punya cita-cita menamatkan hafalan shalatnya, jadi anak yang jujur sehingga bisa dapat hadiah coklat.

Meski Delisa hanya tinggal dengan ayahnya, sebab Ummi dan tiga saudara perempuan'a hilang saat Air bah menghantam Aceh, Desember 2004 lalu. Delisa jadi simbol anak Aceh yang kuat dan cerdas, sesekali celotehnya girang dan lucu. Ada tawa dan tangis rindunya pada Ummi yang membuncah, memecah hening di sela-sela dialog-dialog film itu.

Novel dan Film ini juga memantapkan tekad saya untuk menulis tentang Tsunami. Mengapa Mas Tere Liye bisa menulis tentang cerita hidup dan mati kami, dan kami sendiri tidak menuliskannya? Padahal cerita ini tidak pernah habis dan selesai. Akan dikenang sepanjang usia langit dan bumi.

Lagipula, akan berbeda ceritanya, bila menulis dalam bahasa korban. Ada "taste" dan "feel" yang beda. Ada banyak catatan dangkal dari novel ini, menyangkut bahan baku tentang begitu banyak sisi, pelajaran dan hikmah Tsunami itu sendiri. Ada banyak moment yang terputus. Drama-drama penting kehidupan yang terabai. Untuk itu ini menjadi motivasi untuk menuliskan sendiri tentang musibah besar tersebut.

Sebut saja, helikopter yang meraung-meraung di udara yang ada dalam film Delisa. Membayang lekat dipikiran kita bagaimana saat wilayah seperti Calang dan Meulaboh, Aceh Barat, pusat gempa terisolasi karena jalur darat putus. Lalu, orang-prang berlari-lari di bawah bayangan helikopter yang melempar kardus-kardus Indomie, berebutan satu sama lain. Relawan multi etnis yang berdatangan dan mengangkut banyak mayat serta membersihkan kampung, rumah sakit dan lain-lain dari tumpukan kayu.

Atau cerita tentang kepanikan malam pertama usai gempa. Cerita Banda Aceh yang jadi kota mati. Orang-orang yang mengungsi saling bercerai berai dengan keluarga. Tanpa ada khabar berita. Malam itu juga banyak gempa susulan yang menambah panik. Orang-orang mengungsi panik, melompat keluar mesjid karena ketakutan akan reruntuhan. Maupun antusiasme warga lain yang tidak terkena air bah, lalu membantu memberi makan, air dan pakaian. Solidaritas yang sungguh luar biasa.

Kita ketahui saat itu (2004), Aceh sedang Darurat Sipil. Jadi persoalan keamanan terganggu. Kalau kita bepergian maka semua kendaraan harus lengkap surat menyuratnya. KTP juga harus ada sempurna. Sweeping adalah hal biasa. Akibatnya, bepergian di Aceh bagi yang tidak terlalu perlu akan dihindari sebisa mungkin.

Namun, skat-skat itu sirna saat Tsunami. Motor-motor tanpa lampu, manusia-manusia tanpa KTP, menerobos malam-malam gelap bergelimpangan mayat, atau melangkahi gunung berjam-jam tanpa makanan dan air. Mayat-mayat bertelanjangpun adalah catatan penting Tsunami y seperti kiamat kecil itu.

Ada juga orang yang meratapi nasib sendiri-sendiri. Menangis disudut-disudut pengungsian, tanpa bisa membantu, tanpa berkata-kata. Listrik mati, komunikasi terputus, belum ada tenda, apalagi pakaian yang seadanya.

Medan tempuh mencari korban selamatpun jauh dan berliku. Tapi para korban selamat banyak yang terjebak di atas-atas bangunan rumah y tidak jadi roboh.

Belum lagi cerita mesjid-mesjid yang kokoh. Anak-anak yang selamat dengan keajaiban. Pemuda-pemuda yang hidup sampau sekarang karena menolong orang tua. Atau cuplikan prilaku manusia dalam hura-hara Minggu, 7 tahun lalu itu.

Posko-posko darurat yang didirikan. List nama-nama yang kita susun menjadi pusat informasi. Nasib di tenda. Dapur umum. Kuburan massal. Sekolah sementara. Dan ribuan kisah lain yang hanya korban yang mengetahui. Lalu mengapa kita tidak menuliskannya? Sesuai pengalaman masing-masing. Sebagai orang Aceh? Supaya kisah Tsunami ini akan menginspirasi dengan fakta yang benar pula.

----
Tapi, bagamanapun kita tetap memberi apresiasi atas karya besar mas Tere ini. Bagaimana beliau sudah menuliskan cerita ini sebagai cerita yang akan hidup dalam setiap diri korban dan orang Aceh. Film Hafalan Shalat Delisa ini juga menceritakan bagaimana cinta Ibu dan Anak. Meski banyak harapan supaya para pemain filmnya adalah ‘artis’ orang Aceh. Dan ‘setting’ Aceh-nya dengan beragam budaya masih minim sekali.

Semoga akan ada karya korban Tsunami untuk novel Tsunami di tahun mendatang. Amin. Ayo menulis!


Jumat, 27 Januari 2012

Dayah Aceh di Tanah Betawi

Oleh Azwir Nazar
Jam menunjuk pukul 04.18 menit. Alarm tanda waktu telah tiba berbunyi kuat di telinga. Sayup sayup suara azan mulai menggema, disertai shalawat khas dengan logat Aceh yang kental. Waktu Shubuh telah datang. Penghuni komplek mulai beranjak dari lamunan panjang menuju mesjid yang berada di tengah balee-balee pengajian. Kehidupan hari ini sudah dimulai!

Di mesjid, para jamaah umumnya berbaju putih koko, layaknya seragam resmi. Satu dua ada yang mengenakan jubah, seperti pakaian orang Arab. Lengkap pula dengan kain sarung, serta peci atau kopiah. Adapun kaum perempuan berada di shaf belakang dibatasi tirai seperti biasa. Mereka ini adalah para santri yang sedang menuntut ilmu, menghabiskan masa ABG dengan bersedia belajar di dayah. Memilih kehidupan sederhana, bersahaja dan mandiri. Di tengah gemerlap-nya dunia Jabodetabek yang menyuguhkan berjuta pilihan.

Seketika, semua berkumpul, bersemangat menyongsong shalat Shubuh berjamaah. Mereka masih sangat belia dan umumnya remaja usia SMP/SMU. Wajahnya bersih berseri, polos, memancarkan keteduhan dan keikhlasan sembari mulut yang komat komit membaca bait-bait dan sajak zikir. Matanya sering terbelangak dan tertuju pada satu titik bila ada orang asing atau tamu yang datang. Maklum, mungkin-mungkin itu tamu yang mengunjungi, pikirnya. Hal itu biasa, apalagi kalau sudah akhir bulan. Harap cemas menunggu kabar orang tua, atau kiriman dari kampung. Kalau berbaju agak beda, tidak sewarna atau tidak pakai sarung, maka mudah saja terdeteksi kita itu orang baru. Sang tamu.
Suasana mirip Aceh itu bukanlah berlangsung di Serambi Mekkah. Serambi-nya dayah yang tersebar hampir di seluruh penjuri bumi Iskandar Muda. Tapi suasana anak mengaji, bersenandung shalawat penuh syahdu, balee dan bilik panggung corak Aceh ini ada di tanah Betawi. Ya, inilah dayah MUDI. Dayah Aceh di tanah Betawi. MUDI itu sendiri singkatan dari Ma’hadul ‘Ulum Diniyyah Islamiyyah.

Hanya dengan sebidang tanah 400 meter, Ahad, 27 Maret 1988 dayah ini resmi didirikan. Menurut Drs. K.H. Marzuki A. Ghani yang akrab disapa Waled, sang pimpinan, modalnya bismillah dan tawakkal ‘alallah. Alhamdulilah, berkat rahmat Allah dan bantuan penderma empat bulan setelah itu (3 Juli 1988) dayah ini memiliki sebuah asrama santri pertama yang terdiri 4 kamar, masing-masing 3x4 m persegi dan sebuah balee. Balee inilah menjadi pusat dan sentral aktivitas pengajian dan ibadah.

Sekarang, setelah 22 tahun, MUDI Mekar Jati Asih Al Aziziyah ini berdiri megah dan memiliki lahan 5 Ha di kampung Pamahan RT 03/09 Kelurahan Jati Mekar Kecamatan Jati Asih Bekasi. Sebuah kampung Betawi perbatasan Jakarta Timur dan Jawa Barat. Sarananya juga lumayan lengkap, ada mesjid, balee pertemuan, ruang belajar, lab komputer, pustaka, balai pengobatan, lahan peternakan, sarana olahraga sampai ambulance dan lain-lain. Alumninyapun sudah 871 orang kata Waled.

Pesantren atau dayah ini juga memiliki pendidikan formal mulai TK Raudhatul Atfal, SMP dan SMU Mudi Al Aziziyah dengan kurikulum Kemdiknas/Kemenag dipadu dengan kurikulum pesantren, madrasah diniyyah untuk santri yang mukim (pondok), mulai tingkatan ula, wustha, dan ‘ulya. Ada pula rencana mendirikan SMK yang kini sudah progress 70 %, untuk menumbuhkembangkan wirausaha santri. Pendidikan Informal juga ada keperasi pesantren, dan BMT (Baitul Maal Wattamwil) sebuah usaha berbentul bank lokal, jadi tempat simpan pinjam guru, santri dan masyarakat sekitar yang umumnya petani dan pedagang miskin. Disamping anak terlantar dan kaum dhu’afa.

Santrinya ada yang bermukim, ada pula tidak tinggal di dayah. Umumnya, anak orang Aceh di Jabodetabek, juga ada anak Betawi, warga sekitar. Selain belajar agama, mereka juga belajar ketrampilan dan seni budaya, seperti melukis, kaligrafi dan grop Rapai dan Saman. Bersama masyarakat, santri yang umumnya berasal dari anak kurang mampu/yatim ini juga ikut kerja bakti, tabligh, serta perayaan hari-hari besar bersama masyarakat. Tidak ketinggalan mereka bahasa Inggris dan Bahasa Arab .
Dulunya kampung ini sangat terbelakang. Jalanan berlumpur, masyarakat masih percaya sesajen. Saya juga tidak tahu persis kenapa Waled memilih kampung ini untuk Dayah, yang kalau dibayang-bayang, 20 tahun lalu, pastilah seperti hutan dan rawa belantara. Tapi itulah Waled, jejak dan komitmennya menyebar kebaikan, menebar cahaya tauhid tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Sama halnya, para ‘endatu’ kita Walisongo yang menyampaikan Islam sampai ke pelosok Nusantara.

Bagi orang-orang yang pernah di dayah, maka suasana kerinduan dan ketenangan itu adalah moment paling indah. Kadang, kenangan itu sulit dimengerti bagi mereka yang tidak pernah menghabiskan waktu dibilik-bilik atau asrama itu. Kekeluargaan, kemandirian, rasa suka duka, perjuangan semasa menuntut, sampai cerita-cerita lucu yang mengundang gelak tawa.

Tentu, bila anda berkunjung ke Jakarta, tidak salahnya menyedia waktu untuk bersilaturahmi ke dayah ini. Sebagai perjalanan spritual. Kira-kira hanya 1 jam dari terminal Kp. Rambutan. Kondisi dayah sekarang memang sedikit menurun, santri juga berkurang, karena Waled beberapa bulan ini sedang sakit. Saat saya berkunjung pertamapun, beliau masih berobat di Aceh. Tapi, semangatnya membangun dayah ini sungguh luar biasa.
----
Usai shalat shubuh saya menyapa seorang pemuda yang baru saja selesai dengan wirid dan doanya yang khusu’ di dalam Mesjid. Beliau adalah seorang pengajar, Tgk Azhardi. Saat saya tanyakan kenapa memilih tinggal dan mengabdi di dayah, apalagi ini Jakarta dengan pesona kota metropolitan. Mahasiswa di sebuah Universitas Swasta di Jakarta ini menjawab, saya ingin mengabdi dan mengejar ketertinggalan dalam belajar agama. Ujar pemuda yang sudah 11 tahun mengabdi itu dengan mantap. Mata saya berkaca-kaca mendengarnya di tengah fajar yang mulai menyingsing, petanda terang menyelimuti hari itu.
Sahabat saya, Tgk Fadhil yang juga mengabdi disana, memberi tanda bahwa kami harus segera kembali ke ibukota. Menyibukkan diri dengan aktivitas biasa sebagai mahasiswa. Saya bertekad dan berdoa untuk bisa menyisakan waktu weekend dengan bersilaturahmi ke dayah-dayah lain di tanah Jawa.

Semoga kita bisa belajar dari Dayah Aceh di tanah Betawi ini, dan terus bertekad untuk berkontribusi serta bermanfaat bagi orang lain. Maka, mulialah orang-orang yang memilih tinggal di dayah dengan penuh keikhlasan dan ketulusan demi membina dan menyiapkan generasi masa depan yang lebih baik. Doapun kita haturkan pada para guru kita dimanapun mereka berada. Amin.


Penulis adalah alumni Ponpes Darul Ulum Banda Aceh, mantan Sekjen PB Ikatan Mahasiswa Alumni Dayah Aceh (PB IMADA). Email : azwir.nazar@yahoo.com

Tulisan ini dimuat di citizen reporter serambi indonesia, sabtu, 21 Januari 2012. Ini bentuk asli dan lengkap.








Minggu, 01 Januari 2012

“Musim Galau dan Wanita Palsu” (1)

Saturday, 31 December 2011 at 20:39
Catatan Akhir Tahun (Bag 3)
Oleh Azwir Nazar
Setelah 66 Hari liburan di Aceh. 13 September balik ke Jakarta. Menjadi mahasiswa lagi. Memulai semester ketiga. Dengan semangat baru tentunya. Beberapa agenda penting di Aceh sudah selesai. Mulai dari agenda silaturahmi teman dan keluarga besar serta agenda insidentil. Ada juga ketemu keluarga baru. Sebenarnya mereka ini sanak famili yang sudah lama putus kontak. Pasca tsunami saya memang suka mencari keluarga. Saudara ayah dan saudara ibu. Semacam silsilahlah begitu. Alhamdulillah, banyak yang baru kenal, padahal mereka itu masih kategori ‘keluarga utama’ dan sekarang bersilaturahmi. Baik kalau mereka ke Jakarta atau ketika saya pulang ke Aceh.

Suka saja bila ketemu saudara. Maksudnya saudara senasab. Kalau sahabat yang jadi saudara itu banyak sekali. Karena dalam sistem kami berteman, yang tua adalah abang atau kakak. Yang muda kami anggap adik. Maka, biasanya kalau kenal orang, keluarganya juga ikut kenal. Banyak teman banyak rizki. Banyak silaturahmi banyak informasi. Bertambah pengetahuan dan jaringan. Ada bahagia, ada sedih. Hidup kita jadi penuh warna.

Tak heran, kalau ada teman-teman Aceh ke Jakarta kami sering bertemu. Apalagi bila ada yang maniak bola. Pasti kami nonton ke Gelora Bung Karno. Ada pula yang sering singgah di FOBA, mereka menginap semalam atau lebih. Dalam kamar saya yang sangat SS. Sangat Sederhana. Misalnya, ada Dekbit, yang mau berangkat ke Jepang, saat Tsnuami melanda Jepang Maret lalu. Bro Joni Zulfikar mahasiswa Aceh di Texas, saat pulang dari AS sebelum bertolak ke Aceh, juga transit. Dia tidur pulas setelah menempuh perjalanan 24 jam antar benua. Lalu meninggalkan sebuah topi ‘pet’ warna merah bertulis Texas A & M berwarna putih di atas rak buku saya. Pak Dosen Sehat Ihsan malah sampai sekarang masih tinggal cas McBook barunya di kamar. Saat asik memberi wejangan ‘cinta’ dua malam sebelum terbang ke Milan, Italia.

Lain lagi, cerita Zulyadaini, seorang pemuda tampan, sebelum ke Australia, sempat tidur dan makan warteg bersama saya di FOBA. Kandidat master itu juga ketinggalan minyak rambut “jonny Andrea”-nya. Satu lagi, teman unik yang jadi Warga Negara Canada, selalu singgah di kamar saya sesampai di Jakarta. Padahal, punya istana di Bintaro. Beliau ini juga sering menyapu kalau kamar kotor, dan mandi pagi-pagi sekali. Orangnya tergolong ganteng untuk orang Asia. Selalu mengajak saya kerumahnya di Vancoveur, Kanada.
Kalau dari Timur Tengah, memang sering singgah di FOBA. Tapi bukan kamar saya, mereka menginap di kamar tamu. Ada juga teman mereka di asrama. Beberapa juga saya kenal. Banyak sekali orang Aceh di Luar Negeri, dan sering sekali ‘transit’ di FOBA sebelum melanjutkan perjalanan ke negara tujuan, atau pulang ke Aceh.

Selain itu, ada juga kenalannya melalui Fb, terus jadi sahabat. Satu teman kenalkan teman lain. Lalu menyambung seperti arisan berantai. Dari berbagai negara, malah kami bergabung di sebuah group di Fb. Bayangkan saja, 24 jam itu terus hidup. Karena bila di Indonesia malam tiba, maka di AS masih siang. Begitupun di Eropa, dan negara lain. Bagai waktu yang tidak berhenti. Kalau kita melayaninya, maka kita bisa tidak tidur semalam suntuk. Teman-teman yang lucu ini membuat kami saling merindui, dan bercanda di dunia maya. Seperti sudah kenal dekat sekali.

Celakanya, fb ini membuat saya candu. Ya, saya candu fb di 2011. Ini menjadi catatan penting kegagalan tahun ini. Cukup buruk. Bayangkan saja, saya bermalam-malam main fb sampai pagi. Besoknya seperti itu lagi. Lalu, anda tentu tahu apa yang terjadi, bukan? Pagi hari tidur panjang. Orang Aceh bilang, laksana ‘simantong’.

Ada hal positif memang, tapi setelah ditimang-timang negatifnya lebih banyak. Terutama dalam hal waktu yang terabaikan. Untung saja, saya tidak candu games atau poker. Karena 2009 lalu pernah diajarin teman, tapi selalu kalah. Jadi, saya putuskan daripada kalah, tak usah main saja.

Tanpa terasa, saya menghabiskan waktu sampai 7-10 jam untuk fb. Bukankah itu gila? Tak cukup dengan internet di kamar. BB saya pun online 24 jam. Alasan supaya kalau ada berita penting, hp-a tidak mati. Padahal 24 jam itu untuk Fesbuk!

Musim Galau
Saya menyebut gejala ini sebagai musim galau. Ketawa berlama-lama di fb karena chating dan postingan lucu adalah sangat aneh. Sesekali memang saya tidak tidur membuat tugas. Tapi sistem kebut semalam. Cuma itu hanya beberapa malam saja. Sebab, saya tipe pekerja dalam tekanan. Hal-hal yang mestinya dikerjakan dalam sebulan, biasanya saya mengerjakan tiga hari atau seminggu.

Sekali waktu, saya pernah tertipu di dunia maya. Sebenarnya malu juga menuliskan cerita bodoh ini. Sahabat penulis saya, saat saya ceritakan ini ketawa minta ampun. Lalu, Bro sehat memberi judul kisah ini, “lebih baik singkong di alam nyata, daripada pizza di alam mimpi”.

Begini ceritanya, ada sebuah akun fb dengan nama cewek. Fotonya cantik sekali. Tidak berjilbab, dan terkesan sangat lugu. Teman Canada saya sudah lebih dulu kenal dengan pemilik akun. Mereka rupanya sering chating dan bercerita panjang lebar. Kisah ini dalam bentuk yang ‘parsial’ sering diceritakan pada saya. Tapi, saya mendengarkan biasa saja. Sebab, teman saya ini sudah berkeluarga. Saya menganggap cerita ini, hanya bumbu.

Entah bagaimana ceritanya, saya kemudian berteman dengan pemilik akun tersebut. Setelah melihat beberapa temannya adalah mutual friends. Kisahnya, gadis ini berdarah Aceh. Ayahnya asal Bieureun, kerja di sebuah perusahaan minyak di Texas, AS. Ibunya adalah muallaf berdarah Canada-Iran. Dia sendiri lahir di Toronto, Canada. Masa kecil dihabiskan di kota Amerika Utara itu. SMP dan SMU dia sekolah di Paris. Selain itu dia juga memiliki banyak keluarga di negara lain, seperti German, dan Inggris. Hal ini diyakinkan oleh akun fb lain dan foto-foto keluarga mereka.

Sebut saja namanya, syalala. Dia juga memiliki seorang adik dan kuliah di Canada. Syalala lalu kuliah S1 di FKUI Jakarta. Sebelahan kampus dengan saya. Tapi sayangnya, saat kami kenalan dia sedah mengambil master of medicine di Adeliede, Australia. Jadi tidak bertemu. 6-7 tahun syalala tinggal di Indonesia dan belajar bahasa Indonesia. Mereka punya rumah di Jakarta. Teman akrabnya berdarah Aceh, seorang putri Indonesia. Syalala mengaguminya, karena meski seorang diva dipuja-puji penggemar. Dia juga masih fasih berbahasa Aceh. Saya sendiri berteman dengan sang puteri dif b dan juga seseorang yang mengaku tunangan puteri itu. Terakhir mereka katanya sudah menikah.

Sang puteri sering juga menceritakan tentang syalala ini. Seorang cewek yang sangat polos, dia sangat ingin mencari pendamping hidup orang Aceh. Tapi bukan saja KTP Aceh. Begitulah kira-kira. Sehingga, dia sangat mengagumi Aceh, yang dulunya hanya pernah dia dengar dari Ayahnya. Cerita itu selalu diaminin oleh pemilik akun ‘suami’-a sang puteri. Beberapa akun lain dengan nama, profesi, tempat tinggal, juga mendukung cerita ini. Saya tidak bisa bayangkan, bagaimana mereka ketawa terpingkal-pingkal karena saya masuk dalam perangkap busuk mereka itu. Saya yakin, penipu ulung ini juga telah menipu banyak orang. Akun-akun itu ternyata dikendalikan oleh orang yang sama. Karena tanpa pekerjaan, sang kawan ini membuat mungkin ratusan akun, dengan imajinasi dan fantasi di luar akal sehat kita.

Saat syalala sering chating dengan saya, hal tentang dirinya yang saya dengar dari berbagai sumber lain (akun yang berbeda tadi) semua persis sama. Sehingga saya tambah yakin, bahwa syalala ini benar-benar ada. Dia juga menceritkan bahwa dia pulang Aceh pertama sekali puasa yang lalu, dan sebulan merasakan nikmat berpuasa di Aceh. Hal ini telah memantapkan niatnya untuk menikah dengan orang Aceh.

Saat saya tanya, untuk apa kamu menikah? Ia menjawab; “saya ingin belajar agama, dan beribadah”. Sudah banyak saya melihat dunia, sekarang saya ingin pulang kampung dan berbuat supaya bermanfaat untuk orang lain. Kalimat inilah ternyata menjerumuskan saya, bermalam-malam menulis banyak puisi cinta dan lagu-lagu paling manis di dunia.

Bersambung…


“Kemesraan ini janganlah cepat berlalu"

Friday, 30 December 2011 at 19:29
Catatan Akhir Tahun (Bag 2)
Oleh Azwir Nazar
Jogja memang penuh pesona. Terutama teman-teman Aceh yang sedang kuliah disana. Saya selalu bilang sama Anwar, Irsan, dan lain supaya kemesraan ini janganlah cepat berlalu. Kita kuliah mungkin 2-3 tahun. Setelah itu, mungkin akan pulang. Maka, kita harus berbuat sesuatu disini. Kalau sisi pendidikan dan sosial saya yakin teman-teman yang punya background aktivis ini paham benar masalah itu. Saya bilang saya iri dengan mereka di Jogja. Kalau di Jakarta, sehari kita hanya bisa mengagendakan, 1-2 pertemuan saja. Itupun harus melawan jarak yang membentang luas. Kesibukan kawan-kawan dan macet-nya juga minta ampun. Di Jakarta, idealnya kita membangun jaringan dan sumber informasi.

Selebihnya, paling kita silaturahmi lewat fb, twitter atau group BB. Bagi yang belum punya BB ya resikonya ketinggalan informasi. Meski bisa juga melalui media lain. Saya berpikir kenapa tidak kita bikin tempat ‘nongkrong’ mahasiswa di Jogja, tapi yang menghasilkan secara ekonomi. Meski bukan bisnis oriented. Tapi, paling tidak tempat kita makan, dan bertemu. Kita patungan, kelola bersama, dan memberdayakan teman-teman. Ide itu disambut positif, tapi saya yakinkan untuk diwujudkan, bukan hanya sebatas ide. Malam hari, saya membuat 'concept note' kecil, untuk menjadi bahan diskusi lanjutan. Saya bersama Anwar, Winda, Irsan, Tgk Don, dan Ramzi sangat semangat. Singkat kata, kita sepakat bikin sebuah warung Aceh di Jogja. Warung kecil ala dan untuk Mahasiswa. Istilahnya supaya kemesraan ini jangan cepat berlalu. Dan saya dan teman-teman di Jakartapun ada 'sesuatu' untuk ke Jogja.

Awal Maret, saya masih di Jogja. Tanggal 3-3-2011 kami syukuran. Karena besok saya dengan Syukri akan kembali ke Jakarta. Acara ini sebenarnya sangat dadakan, tidak ada planning. Tapi di Jogja ada Bang Syahril, Abzari, Kak Is, dan Pocut Ida yang hobi masak. Masalah menu dan belanja itu sudah ada pak Ramzi, Fauzan dan teman-teman lain yang sudah seperti Abdi dalem. Mereka mengerti betul Jogja dan lika-likunya.

Alhamdulillah, syukuran kami dengan bakar-bakar ayam berlangsung penuh khitmat. Ada puluhan yang hadir dirumah bro Tabrani, Muhajir, cs. Ada seseorang yang spesial yang saya doakan hari itu, tapi lagi-lagi sahabat saya itu sedang jauh. Saya hanya mengirimkannya sms, tapi GPJ itu membalas paginya. Entahlah, kenapa ia begitu spesial. Cuma dia tidak pernah tahu itu. Tapi saya menikmatinya dan turut mendoakan orang-orang baik yang pernah hadir dalam kehidupan saya.

Sore hari kami bertolak ke Jakarta. 8 Maret 2011 saya mulai tinggal di FOBA. Dulu, saya mulai kostan di Salemba tanggal 8 Agustus 2010. Sebelumnya, dalam masa pengurusan kuliah justru sering di Depok. Bermalam di rumah Tgk Zamzami, sahabat hitam manis saya.

Sekembalinya di Jakarta, mulai sibuk lagi dengan aktivitas kuliah seperti biasa. Saya menceritakan betapa hebatnya mahasiswa pasca Aceh di Jogja. Malah, ada yang tidak bisa bahasa Aceh, sudah mulai belajar. Mereka tinggal berumah-rumah satu sama lain. Kami juga ingin melakukan itu di Jakarta. Di Ibukota yang sesak dan macet ini. Di Jakarta, sebenarnya ada juga perkumpulan mahasiswa pasca. Tapi sudah lama tidak aktif, yang masih ada cuma ketua dan sekretaris. Teman-teman lain sudah selesai kuliah. Kegiatan terakhir dilakukan 2009 lalu.

Akhirnya, 9 April kita sepakat dengan niat yang ikhlas bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh Jakarta. Kita silaturahmi di Dhapu Aceh sambil makan siang, di kawasan Benhil Jakarta Selatan. Mulailah kami menginventarisir teman-teman Aceh yang sedang kuliah s2 dan s3 di Jakarta. Setelah disusun dewan penasehat, pengurus, struktur, dan mengurus beberapa ADM organisasi yang belum lengkap, kita mengadakan pelantikan pengurus pada 18 Juni 2011 di Hotel Grand Sahid Jakarta. Acara dikemas dengan Diskusi Politik dan Pemilukada Aceh. Alhamdulillah acara sukses besar. Meski pengurus baru saling kenal, dan ada yang ketemu pertama pada hari H. Target peserta juga terpenuhi. Awalnya kami menargetkan 200-san orang, tapi bisa mencapai 400.

Di Jakarta, ada banyak organisasi mahasiswa dan juga pemuda Aceh. Sebut saja, IMAPA, FOBA, SAMAN UI, Kompa Jaya, dan beberapa lain. Alhamdulillah dalam beberapa kegiatan sering bekerjasama. Saya ada dua kali diundang penjadi pembicara di IMAPA. Pertama, 29 Juni-3 Juli saat training TIMPHAN II. Lalu, diskusi publik tentang Politik. Kompajaya pernah sekali, acaranya di Aula PP TIM (Taman Iskandar Muda). Kalau SAMAN UI, teman-teman umumnya tinggal di Depok.

Ternyata banyak sekali mahasiswa Aceh yang sedang belajar beragam disiplin ilmu di Jakarta. Ada yang beasiswa kampus, tapi kebanyakannya biaya sendiri. Mereka ini punya tekad dan semangat yang besar untuk belajar. Suatu saat saya membayangkan bila teman-teman ini bersatu dan memiliki komitmen bersama untuk membangun Aceh, akan sangat berguna. Mereka adalah orang-orang yang teruji, gigi berjuang untuk hidup dan belajar di ibukota. Orang-orang Aceh di Jakarta sendiri di segala lini dan profesi juga sangat banyak. Saya belum tahu angkanya, tapi saya yakin bisa mencapai 20 ribu atau lebih.

---
Hari terus berganti hari. Tiba-tiba saya dapat khabar dari Jogja. Sahabat saya, Anwar, Irsan, Winda, tidak jadi ikut melanjutkan ide bikin warung Aceh. Alasannya macam-macam. Karena kesibukan dan juga siap-siap menamatkan kuliah. Tgk Don seorang tetua di Jogja, menanyakan komitmen saya. “Kiban tgk” tanyanya. Ini teman-teman sudah mundur, apa masih mungkin, ide ini kita jalankan. Ia bilang ada Ramzi dan Akmal tertarik untuk mewujudkannya. Saya menjawab. Insja Allah, saya tetap konsisten, dan siap ke Jogja untuk buat ‘warung” Aceh itu, sekecil apapun dan sesederhana apapun.

Saat itu, saya memproyeksi sesuatu yang lebih besar. Bisa menjadi sentral bisnis kecil-kecilan. Maka, awalnya saya usulkan nama Aceh Connection Center. Supaya potensi Aceh ini bisa terkoneksi dengan baik. Singkat cerita, kami tinggal bertiga. Patungan. Tgk Don, Abzari, dkk mendukung. Akhirnya, dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, 8 Mei 2011 “Panteu Atjeh” di peusijuek. Saya datang ke Jogja dan pagi jam 06.00 tiba di Jogja. Semua sudah disiapkan dengan sempurna oleh Ramzi dan Akmal. Selanjutnya mereka yang mengelola “Panteu Atjeh” sampai sekarang. Jadi kalau anda ke Jogja, ingin coba makanan Aceh, mie Aceh, anda bisa kesana di daerah Karanggayam, dekat kampus UGM.
----
Pertengahan Juli saya liburan semester ganjil. Tanpa terasa sudah semester dua. Liburnya pun cukup lama. Ide awalnya, saya ingin ke Australia. Ada seorang teman sedang kuliah Master di Adelide. Namanya Riadi. Malah, beliau sudah kirimkan saya syarat aplikasi pengurusan visa. Ya, working holiday visa. Sementara, saya sudah habiskan sebulan waktu liburan di Jakarta. Dengan berbagai kegiatan. Disisi lain, adik saya semata wayang di Aceh juga baru tamat sekolah tingkat Tsanawiyah. Ia harus melanjutkan sekolah baru dan sayapun harus memastikan semuanya berjalan lancar dan tidak ada kurang sesuatu apapun.

Lalu, saya pulang ke Aceh. Kira-kira dua minggu sebelum Ramadhan tiba. Alhamdulillah adik, sudah lebih mandiri, dan dia sudah bisa memilih sekolahnya. Sayangnya, liburan yang kami rencanakan tahun ini itu belum tersampaikan. Di Aceh, sempat ke beberapa daerah ikut rombongan kawan yang suka keliling di Aceh. Misinya mulai menghadiri sunatan, walimahan, sampai silaturahmi politik alias kampanye. Nama kerennya, koordinasi dan konsolidasi.

Ramadhan
Ramadhan 1432 H saya habiskan sebulan penuh di Aceh. Bahagia sekali rasanya. Sebab tahun lalu (2010) saya baru seminggu mulai kuliah dan tidak libur. Baru bisa pulang ke Aceh 23 Ramadhan. Lalu saya buat syukuran buka puasa dan zikir bersama anak yatim dan warga masyarakat di dirumah pada malam 27 Ramadhan. Sekaligus minta doa dan izin semoga dilancarkan kuliah dan dimudahkan segala urusan di Jakarta.

Rasa penat beberapa bulan lalu mau saya ‘bantai’ habis dalam kesyahduan Ramadhan. Bulan penuh rahmat, ampunan dan pembebasan dari api neraka ini. Saya benar-benar mengejar target untuk belajar agama dan memperbaiki diri. Agenda yang tidak terlalu penting dalam bulan puasa saya abaikan. Buka puasapun bila ada yang undang, saya akan datang kalau dekat mesjid, dan langsung pulang setelah berbuka. Paling, kalau ada yang mau berdiskusi, ya setelah terawihlah.

Meugang, sehari sebelum Ramadhan, saya berangkat ke Sabang. Ikut sebuah rombongan Peukan Baru yang berjumlah 14 orang. Setelah malamnya I’tikaf di mesjid Ulee Kareng. Di Sabanglah, saya menyambut Ramadhan. Di Sebuah mesjid, kalau tidak salah namanya Baiturrahman. Hanya saya satu orang Aceh. Lainnya adalah orang Pekan Baru, Riau. Tiga hari bersama jamaah ini saya rasakan betul manfaatnya. Sangat membekas. Mereka menjadi juru dakwah yang luar biasa.

Di penghujung malam selalu menangis tersedu-sedu. Mendoakan saudara muslim untuk Allah sayang dan mendapat hidayah. Pembicaraan dengan mereka ini selalu tentang kebesaran Tuhan dan kemuliaan Nabi. Dampaknya bagi saya sungguh luar biasa. Meski tiga hari, dan saya langsung pulang ke Banda Aceh. Tapi, alhamdulillah sepuluh awal Ramadhan, saya sudah khatamkan bacaan AlQuran. Dan, subhanallah, karena selama Ramadhan ini, saya tidak meninggalkan shalat berjamaah. Ini kebahagian yang sangat besar di 2011. Melebihi apapun yang saya dapatkan dan rencanakan. Malam-malam ganjil di penghujung Ramadhan juga menjadi sangat menginspirasi.

Baru mengerti saya, bagaimana cerita Rasulullah, kekasih Allah shalat sampai bengkak kaki. Dulu, hanya cerita dari guru saya, dan sering saya dengar dari penceramah. Tetapi, di sebuah mesjid besar, pedalaman Aceh Besar itu mereka shalat malam menghabiskan 3 juz semalam, sampai shubuh. Malam terakhir semua jamaah menangisi kepergian Ramadhan. Takut bilamana, Ramadhan berlalu dan tidak memperoleh ampunan Allah, tidak menjadi lebih baik dan bermanfaat untuk orang lain. Atau Ramadhan ini adalah yang terakhir kalinya. Ini juga kemesraan yang tak tertandingi. Rasanya pingin seluruh hari adalah Ramadhan. Idul Fitri saya selalu shalat di Kampung, setelah shalat Id, kami selalu ziarah ke kuburan Ayah dan juga kuburan massal Tsunami. Bersama adik tercinta, Mushallin.

“Kuliah dan Ulang Tahun di Udara”

Friday, 30 December 2011 at 10:10
Catatan Akhir Tahun (Bag 1)
oleh : Azwir Nazar
Catatan ini sengaja ditulis untuk membuka lembaran perjalanan setahun 2011. Untuk mengingat cerita dan apa yang terjadi secara umum. Saya menuliskannya dalam bentuk serial, di saat ada waktu luang. Mencoba mengingat semuanya dan menuliskannya dalam dua hari. Ada keberhasilan, ada juga kegagalan yang menjadi catatan penting menyambut tahun 2012. Tentu tidak semua saya tulis. Ada wilayah privasi dan samaran tokoh dalam kisah ini.

Tahun ini berlalu begitu cepat. Masih teringat dulu, setahun lalu memilih merayakan tahun baru dirumah saja. Meski, dentuman mercon memagari kawasan Salemba dan kota Metropolitan Jakarta. Setelah, sore hari sebelum matahari terbenam, berlama-lama menghabiskan waktu di karpet merah Istiqlal. Ya, ini tahun pertama di Jakarta. Masih kebiasaan lama, saat masa-masa indah di Baiturrahman.

Awal tahun adalah masa-masa sulit sekali. Menghabiskan malam-malam kecemasan yang menggelora. Tiada yang mengerti cerita ini. Ada satu orang kawan yang jauh, tak pernahpun berjumpa, tapi sangat menginspirasi. Pesona dirinya yang kuat dan kokoh, kadang menemani curhat penuh makna. Tapi dirinya hanya salah satu dari kawan-kawan yang luar biasa. Cuma, dia tidak tahu persis, keutuhan cerita itu. Dia seorang dokter yang taat.

Ada banyak rencana di 2011. Salah satunya adalah bisa kuliah lagi. Pasca tragedi Tsunami, banyak waktu dihabiskan di Aceh. Bersama manusia-manusia hebat yang bangkit dari titik nol. Mereka seperti pejuang yang sangat sabar dan terus melanjutkna hidup. Meskipun harus kehilangan semuanya dari Tsunami. 6 tahun kita bersama. Menyisir pantai-pantai yang disapu gelombang. Memahat lagi harapan yang pupus dan rencana yang hancur akibat air bah. Tentang cerita ini akan saya tulis dengan istimewa. Mulai gempa, air surut, jadup, karena bunda, tenda, malaikat yang menggendong, jodoh tsunami, dan beberapa cuplikan penting kehidupan saya.
……
Alhamdulillah, akhirnya Juli 2010 bisa kuliah di UI. Target awal kuliah S2 itu Februari 2011. Tapi alhamdulillah, lebih cepat dari target sedikit. Walau sebelumnya, juga lulus di IIUM Malaya. Sempat juga mendaftar di University of Peace, sebuah kampus di Costa Rica yang dimandatkan oleh PBB, kuliahnya di dua kampus, kata kepala akademiknya. 6 bulan di Ataneo University Philiphine. Program Asia Leader. Kebetulan saya pernah melihat kampus tua di kota Manila, saat akhir 2008 mengunjungi kota-kota penting di negeri Aroyyo itu. Namun, saya pulang lagi ke Aceh. Karena menyongsong masa transisi Aceh, dari konflik ke proses politik. Beberapa teman, dari 13 negara menyarankan untuk ikut terlibat menjadi aktor perubahan dan sejarah Aceh itu. Apapun hasilnya. Bukan saja penonton. Akhirnya, ikut proses politik, sampai akhirnya memperngaruhi pilihan kuliah. Jadi suatu saat, anda bisa ceritakan apa yang terjadi di tanah anda, 10-20 tahun lagi. Begitu kira-kira.

Januari, liburan semester pertama. Setelah menikmati kuliah dengan “lugu” dan tanpa bandel sedikitpun. Datang dengan cepat, pakaian rapi, wangi juga tentunya. Tapi pulang kuliah ‘nangkring’ di Seven. Maklum, tempat paling dekat dengan kampus dan kostan. Bertemu dengan teman-teman kuliah yang sangat kompak. Para pendekar pekerja keras. Pintar-pintar sangat dan penuh canda tawa. Kami kuliah seperti keluarga, pulang kuliah makan bareng, foto-foto, dan belajar bersama.

Lalu, tibalah masa liburan. Ini liburan pertama, lumayan lama juga, hampir sebulan lebih. Itulah salah satu kelebihan UI, semuanya bisa online. Jadi kita hanya perlu tahu kapan kuliah tatap muka pertama dengan dosen. Jadi kita tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk mengejar dosen atau meminta tanda tangan persetujuan KRS. Maka, waktu libur jadi lebih lama.

Ulang tahun di udara
4 Januari, ulang tahun, sudah 28 tahun. Sudah tua. Tapi kalau dilihat ya masih kecil, karena makan tidak banyak, yang banyak cuma bicara. Hehe. Akhirnya, Selasa pagi tersebut pulang ke Aceh. Sandinya “ulang tahun di udara”. Ada-ada saja idenya. Hingga memutuskan kenapa 4 Januari pulang ke Aceh. Ingin merasakan bagaimana mensyukuri nikmat Tuhan yang telah memanjangkan umur lewat teropong udara.

Sebuah moment yang mengharu biru, mengingat perjalanan hidup seorang hamba, dengan berbagai rasa. Waktu kecil, masa-masa indah di Pondok sampai selamat dari Tsunami. Seperti melihat dari atas, sudah sejauh mana perjalanan ini. Impian, harapan, suka, cita, kekurangan, kelebihan, waktu yang terbuang, orang-orang yang berjasa, guru-guru yang memesona, teman-teman setia, dan orang tua yang sempurna. Semua itu tergambar kuat, terhujam dalam-dalam di perjalanan hampir 3 jam ke Banda Aceh. Setelah transit di Medan 20 menit.

Bisa dikatakan, bagi saya inilah salah satu refleksi ulang tahun yang menarik. Di Banda Aceh, sebenarnya saya ingin ketemu seseorang yang 4 Januari tahun lalu kami gagal bertemu. Memang akhirnya kami ketemu, 3 Maret 2010. Pukul 9.33. sampai pukul 10 kurang 3 menit. Masih juga teringat cara ia minum teh. (edisi Gadis Pelempar Jumrah). Sayangnya, kami tidak bertemu, karena sahabat saya ini super sibuk. Tapi 24 Januari di sebuah pernikahan teman, Gadis Pelempar Jumrah itu sempat terlihat, menggunakan camera hp ingin foto, pakaian warna biru, dan kerudung biru.

Anehnya, saat melihat saya, mukanya berubah dan langsung kabur. Seperti ‘ngambek’ begitu. Mungkin juga saya jadi orang paling menyebalkan dan mengganggu hidupnya. Any way, ini sangat mengesankan. Dia membuat saya benar-benar jatuh cinta, sepertinya. Cuma dia 'isunya' sudah ada yang punya. Dia menolak saya mentah-mentah. Saya juga pernah bersalah, meremove’a di fb, tanpa alasan. Akhirnya, setelah 8 bulan saya minta maaf, gadis cantik dan lembut itu memaafkannya.

Misi penting lain liburan itu adalah niat shalat dan mengunjungi 40 mesjid di Aceh. Suka saja saya shalat di mesjid-mesjid yang berbeda. Terutama di mesjid-mesjid yang selamat dari Tsunami. Mulai dari mesjid di Desa saya, Baiturrahman, dan sebagainya. Alhamdulillah target ini tercapai karena kami mengunjungi lebih dari 50 mesjid untuk shalat dengan seorang sahabat setia, Zamzami. Ada banyak hikmah penting, lalu menjadi lonjakan dan titian dahsyat dalam perjalanan spritual. Selain, berbagai aspek yang terekam dirumah Allah.

Mulai kebersihan, muazin, imam, jamaah dan hal unik lain. Indahnya, pada setiap mesjid yang saya kunjungi, selalu ada seseorang yang saya kenal, atau mengenal saya, lalu kami bercerita satu sama lain. Beberapa mesjid terasa aura yang mendebarkan, seperti gemuruh suara malaikat dan para syuhada yang membaca hikayat cinta dari syurga. Saya menandai beberapa mesjid itu, dan mendoakan supaya dapat mengunjunginya lagi.

9 Februari kembali ke Jakarta. Memulai kuliah lagi. Semester ini lebih berat. Karena ada 15 SKS. Cukup menyiksa, apalagi bila musim tugas dan ujian datang. Berhari-hari kita menghabiskan waktu di kamar. Sekali lagi, teman kuliah sungguh luar biasa. Tugas-tugas kami selesaikan dengan berdiskusi bersama, di sela waktu-waktu kosong mereka. Ada banyak pilihan tempat di Jakarta, ini unggulnya Jakarta.

Akhir Februari saya ke Jogja, melanjutkan liburan. Belum puas kayaknya keliling di Aceh. Awalnya, ada 8 orang mahasiswa pascasarjana Aceh yang sedang kuliah di Jogja datang ke Jakarta. Katanya ada teman walimahan. Hari itu saya sengaja ke FOBA, asrama mahasiswa Aceh di kawasan elit Jakarta. Tujuan saya bermain bola, olahraga sorelah. Tanpa sengaja, kami ketemu dan saya mengantarkan mereka pulang ke Jogja. Setelah mendayu-dayu dan menikmati bintang di kota Kembang Bandung.

Ternyata di Jogja ada banyak yang saya kenal. Mereka sangat kompak. Sering bertemu dan masak bareng. Maka, bila anda kuliah di Jogja, anda bisa tiap minggu makan makanan Aceh ala mahasiswa. Kota Jogja tidak terlalu besar, maka memudahkan untuk beraktivitas di luar kuliah. Tidak ada macet dan makanan sangat murah. Kota ideal dan penuh kesejukan untuk belajar. Dan melihat masyarakat yang unik, berbudaya, dan penuh senyum. Awalnya, saya merencanakan dua malam di Jogja, karena harus kuliah. Tapi pesona jogja, dan magnet kemesraan bersama teman-teman pasca disana memaksa saya dengan seorang teman seminggu disana.

Dulu, oktober 2002, saya pernah ke Jogja untuk pertama sekali. Saya ikut program Pertukaran Pemuda Antar Propinsi (PPAP), kebetulan kami ditempatkan di Jogja bersama 4 propinsi lain, Banten, Kalbar, Jambi, Aceh dan Maluku. Kami tinggal di daerah pedalaman, yaitu di Purwodadi, Tepus, Wonosari. Sebuah daerah terpencil di Laut Selatan Jogja. Air bersih tidak ada disana, tanahnya tandus dan sangat memprihatinkan. Cuma, mereka rajin bekerja, ramah terhadap pendatang dan memuliakan tamu. Kami tinggal di sebuah rumah orang tua angkat. Namanya, pak Dardi dan Ibu Sumarni.

Kita kehilangan komunikasi dan tidak pernah bertemu sejak 2002. Saya selalu teringat sama mereka, orang-orang desa yang sangat baik. Pekerja keras, sangat ramah dan berbudaya. Par Darli ini, memiliki koleksi buku yang sangat banyak. Foto-foto dari masa kecilnya kakeknya disimpan dengan rapi dalam album, lengkap dengan keterangannya. Rumahnya sangat sederhana, alasnya masih tanah, tapi menawan. Ada kedamaian disini. Ketentraman dan alam yang asri.

Karena sudah lama tak bertemu, mungkin mereka pikir kami juga sudah terkena musibah tsunami. Ada satu teman saya, yang tinggal di rumah ini, hilang saat Tsunami. Namanya Suryadi, tinggal di Peukan Bada, Aceh Besar. Meski tidak bertemu lama, selalu terngiang wajah mereka di mata. Maka, saya memutuskan akan mengunjungi mereka. Apakah masih hidup atau sudah tiada.

Setelah saya meyakinkan, teman-teman Jogja, akhirnya kami, Anwar, Ramzi, Ihsan, Muttaqin, Fauzan, Akmal, Tgk Don, Syukri mengunjungi ‘Ibu’ Jogja saya. Saya coba memutar memori, 9 tahun lalu. Saya lupa-lupa ingat nama ibu Sumarni apalagi desa dan rumahnya. Tapi terus memaksa diri untuk ke Tepus. Berharap bertemu dengan orang-orang baik. Mereka yang tulus mengabdi untuk orang lain dan negeri. Sehari-hari mereka memulai kehidupan dengan menyapu halaman, bekerja, mencari rizki, dan menolong orang lain.

Orang-orang desa di Jogja ini sungguh agung. Tiada dusta diantara mereka. Dalam perjalanan, kebetulan kami berangkat dengan mobil pribadi dan menyaksi pemandangan yang indah dan jalan panjang yang berkelok-kelok. Akhirnya, setelah dua jam perjalanan kami tiba di tujuan. Saya masih ragu, apakah nantinya ibu atau bapak ingat. Soalnya sudah 8-9 tahun. Tanpa komunikasi. Tapi di desa itu ada tiga bangunan yang saya ingat persis, pertama sebelah kiri ada SD, disitu dulu kami mengajarkan tari Saman bagi siswa sebagai pertukaran dan pengenalan budaya. Sebelah kanan, ada lapangan bola, tempat sore menendang bola, dan malam hari menonton layar lebar, yang sebulan sekali ada. Masih sangat tradisional. Lalu, jalan masuk ke rumah Ibu ada mesjid kecil. Di Mesjid ini, seorang remaja penjaga mesjid, sempat memaksa saya untuk merekam suara mengaji juz 30, lalu setiap sore menjelang azan, rekaman itu diputarkan. Saya baru tahu itu setelah beberapa hari sampai ke Aceh, ada berita dari seorang dari DInasi Pendidikan Jogja, pak Ponidi. Tapi mereka itu sekarang sudah kehilangan kontak.

Sekira-kira jam 11.00 WIB, kami sampai di rumah. Ibu Sumarni masih terlihat, menyapu halaman. saya yakin inilah rumah 9 tahun lalu saya tinggal 20 hari disini. Disamping rumah Ibu Sumarni, ada rumah Ibu Henny, dan rumash Sih, seorang pelatih nari di desa itu. Kalau ke Rumah Ibu atau Pak Darli kita melewati rumah Ibu Henny dan Sih, yang persis bersebelahan.

Ibu henny punya kios kecil di depan rumah, saya samperin dan bertanya, "salam, ibu Henny ya? apa itu rumah pak Darli, sambil menunjuk kekanan. Ia, katanya, mas Aswir ya? Azwir bu, saya betulkan ejaannya. sementara teman-teman lain asik melihat-lihat sekeliling. Menikmati permandangan. Iya bu, alhamdulillah dalam hati saya, mereka masih ingat. Akhirnya, saya minta izin untuk kerumah Ibu.

"Assalamu'alaikum, Bu" dengan Pede saya langsung mendekati Ibu Suamarni. "masih ingat saya, Bu' tanya saya sambil menjulurkan tangan bersalaman. Ibu itu menantap saya dengan tajam, mungkin dia mengingat-ingat. lalu..."gaaakk", kata ibu itu. Saya tersentak, dan kawan-kawan nyengar nyengir, ada juga yang berbahasa Aceh. Saya masih merayu ibu itu dan akhirnya kami masuk kerumah, Sih lalu membantu Ibu membuatkan teh dan kami bercerita. Bapak tidak dirumah, ternyata sekarang sudah mengajar, anaknyapun sudah bekerja. Ibu tinggal dirumah.

Lalu, kami berangkat ke Saung di laut Selatan, disana tempat berkumpul nelayan, ada kelompok-kelompok nelayan. Kebetulan Pak Darli ini salah satu yang ditetuakan. Alhamdulillah setelah shalat, kami makan ikan bakar seperti di rumah sendiri. Romantisme 9 tahun lalu, dan kerindungan akan tanah para pekerja keras dan orang-orang tulus itu terbayar sudah. Meski bapak dan anaknya tidak berjumpa, alhamdulillah komunikasi dan silaturahmi terjalin lagi. Kami pamitan dan titip salam sama Bapak dan warga disana. Setelah sempat juga ketemu dan melihat-lihat sambil foto-foto di laut selatan itu. Beberapa kali kita telponan sampai sekarang, anaknya Agus, dan Henny sekarang juga punya Fb.

bersambung...

Mengenal Prilaku Memilih

Oleh Azwir Nazar
Mengenali calon pemilih berikut karakternya secara sosial maupun budaya sangat penting dalam sebuah pesta demokrasi. Ini akan berguna bagi para kandidat untuk menang. Selanjutnya menjadi salah satu basis acuan ilmiah merumuskan strategi pemenangan seorang kandidat atau partai. Berikut pola pendekatan apa yang cocok untuk digunakan.

Dengan demikian, kita akan mengetahui apa yang menjadi faktor atau latar belakang seseorang atau sebuah masyarakat memilih ‘jagoan’-nya dalam pemilu. Dalam sistem demokrasi semua yang memenuhi syarat memiliki hak memilih dan dipilih. Tentu, yang dipilih adalah yang layak dalam pandangan pemilih tersebut. Prilaku pemilih seseorang dipengaruhi oleh dua hal penting. Pertama nilai (values) yang dianut dan kedua adalah informasi yang diperoleh. Informasi menambah pengetahuan khalayak lalu membentuk prilaku.

Voting bahavior
Dalam komunikasi politik, studi yang mempelajari faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya dalam sebuah pemilihan umum itu disebut ‘voting behavior’. Prilaku memilih ini tidak saja menjadi berguna bagi kaum politisi. Tapi, juga menjadi kajian dalam ranah ilmu komunikasi, psikologi dan juga sosiologi. Bagi para ilmuan, studi mengenai prilaku ini menjadi ‘exercise’ untuk menemukan hal-hal baru.

Dalam dunia modern media memainkan peran penting untuk merubah prilaku pemilih. Meski dalam studi prilaku pemilih komunikasi media hanya mempengaruhi persepsi, bukan prilaku. Namun, bila sebuah informasi yang disajikan terus menerus dan berulang-ulang, lambat laun akan juga mempengaruhi prilaku. Ianya akan menempel di kepala khalayak. Makanya, seorang perencana komunikasi berusaha keras merancang sebuah komunikasi sehingga “message” yang disampaikan seolah menjadi sebuah perintah yang harus dilaksanakan. Seolah menempatkan adanya power relations dalam komunikasi. Jadi, ada identitas tertentu yang ditempelkan pada seseorang untuk menciptakan atau membentuk pesan sehingga diperhatikan oleh masyarakat.

Tiga pendekatan
Kita bisa melihat prilaku pemilih ini melalui tiga pendekatan. Pertama, pendekatan sosiologis, umumnya yang menentukan pilihan adalah kelompok sosial yang mempengaruhi individu untuk memilih. Baik besar maupun kecil. Misalnya agama dan asal usul kandidat. Di Amerika saja, Negara yang demokrasi-nya sudah maju, berdasarkan sejumlah penelitian, masih ada prilaku pemilih yang mendasarkan pada warna kulit, ras, atau agama. Kelompok sosial cenderung mempengaruhi aggotanya untuk memilih calon tertentu.

Memang, prilaku politik itu kadang sangat aneh. Karena pilihan politik itu abstrak. Beda dengan prilaku konsumen. Kalau prilaku konsumen seseorang akan langsung mengetahui manfaat tatkala dia memilih sesuatu produk. Dan itu menyangkut kebutuhan sehari-harinya.
Kedua, pendekatan psikologis. Yakni cara memilih sebuah partai/kandidat oleh faktor psikologis karena pengaruh luar, bukan dari dirinya. Pendekatan ini memilih dalam pemilu berdasarkan kecenderungan-kecenderungan yang ditentukan oleh faktor psikologis.

Wllliam Liddle dan Saiful Mujani mengklasifikasi pada tiga faktor. Pertama, Party Identification (Party ID), yaitu kecenderungan pemilih karena memiliki kedekatan psikologis dengan partai tertentu. Seseorang merasa dekat kerena pergaulan sosial. Biasanya pertama dibentuk oleh keluarga. Disini fungsi keluarga sebagai agent of socialization sangat mumpuni. Semakin orang tua menjadi idola, maka semakin kuatlah pengaruh orang tua tersebut terhadap dirinya. Dia yakin dan percaya karena berkembang dalam keluarganya bahwa partai tertentu itu baik atau layak dipilih. Jadi, dia tidak perlu lagi mendapatkan atau mencari informasi tentang partai tersebut.

Kedua, orientasi isu. Kedekatan seseorang oleh isu tertentu. Seseorang tidak mengerti betul dengan isu tersebut. Tapi dia menarik. Misalnya, isu neo-liberalisme, mereka langsung tidak setuju dan menolak. Walau bila ditanya seseorang itu tidak mengerti benar apa isu itu. Karena tidak diketahui berdasarkan informasi yang dia peroleh.

Ketiga, orientasi calon. Orang memilih bukan karena karya atau prestasi seorang calon. Tapi lebih karena kharisma. Orientasi calon ini lebih melihat siapa dia, atau anak siapa. Tidak mendalami atau perlu tahu bagaimana prestasi dan ‘track record’-nya selama ini. Anehnya, malah ada yang memilih bukan karena sosok kandidat, tapi karena orang tuanya. Seperti orang yang memilih Megawati, karena ayahnya Soekarno, bukan dirinya.

Pendekatan ketiga adalah pendekatan rasional (rational choice). Yaitu cara memilih berdasarkan informasi tentang apa dan siapa partai atau kandidat tersebut. Jadi, ada keingintahuan pemilih apakah sang kandidat itu sesuai atau tidak dengan keinginannya. Demokrasi mengharapkan orang memilih secara rasional. Supaya yang dipilih itu benar-benar layak. Layak disini adalah mampu. Dalam arti punya kemampuan memimpin dan mengelola pemerintahan menurut pandangan pemilih. Demokrasi mengharapkan rakyatlah yang menyeleksi siapa calon yang berhak dipilih.
Dan obsesi demokrasi mengharapkan para pemilih mengetahui informasi tentang partai atau kandidat.

Pendekatan rasional ini sangat mahal dan sulit. Tapi, itulah yang ideal dalam kacamata demokrasi. Kalau bisa berjalan dan berlaku, maka kualitas orang yang dipilih akan lebih bagus. Bisa kita katakan semacam fit and propertes¬-lah. Dan rakyatlah sebagai electorate yang menentukan sebuah partai atau kandidat untuk menang.

Memang tekanan sosial maupun psikologis sangat mempengaruhi dalam pemilu. Maka, pemilu yang ada belum mampu menghasilkan pejabat yang berkualitas. Ditengah kondisi masyarakat yang sangat butuh akan pemimpin yang capable untuk berbuat dan memikirkan kepentingan rakyat yang makin kompleks.

Disinilah peran dan fungsi kampanye dalam komunikasi politik. Tapi, perlu diingat tujuan komunikasi hakikatnya adalah merubah prilaku secara persuasif. Persuasif dipahami sebagai rayuan atau himbaun. Karena hubungan komunikan dengan komunitor adalah hubungan yang setara.

Makanya, menurut Prof Maswadi Rauf, dua hal yang akan menghambat atau mementahkan teori voting Behavior ini adalah paksaan memilih dan money politik. Keduanya adalah tindakan tercela. Selain mengingkari satu dasar dari demokrasi yaitu hak individu yang bebas, juga akan berdampak pada kualitas pemimpin yang dihasilkan dalam sebuah pemilu atau pilkada.

Azwir Nazar adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI, Pengurus DPP KNPI Periode 2011-2013

http://acehcorner.com/2011/12/mengenal-perilaku-memilih/

Minggu, 25 Desember 2011

Surat Cinta Tsunami

Oleh Azwir Nazar
"....Bukankah seharusnya kita sudah mati, dalam air bah yang menggunung itu, bersama puing2 runtuh rumah kita, bukankah kita pada titik nol, saat semua y kita miliki punah dilumat lidah samudera y menjulur ke darat, bukankah kita tak kuasa atas rancangan dan agenda y kita susun, tatkala goncangan dahsyat meluluhlantakkan semua, bukankah kita tak kuasa, menggenggam jemari selamat orang2 y kita sayang dalam hentakan gelombang menggulung itu(1).

Bukankah kita menjadi saksi atas mayat2 y bergelimpangan itu, saat terhampar luas bertelanjangan, bukankah kita y mengetahui apa y terbetik dalam huru hara itu, saat melepas pergi para syuhada, bukankah kita y tekadkan taubat y menghujam dalam hati ketika terbuka mata di tumpukan kayu air hitam itu.(2)

Bukankah kita y berjanji mengabdi dan mendoakan mereka y bertindih2 dalam lianglahat y padat? Bukankah kita bersaudara saat bertengadah tangan dan makan bersama di tenda2 pengungsian? bukankah kita bertekad bersujud dalam masjid2 y kokoh itu, tatkala y lain rata tak berbekas? bukankah kita y berhari raya dalam air mata dan berpuasa dengan sahur berair hujan? Bukankah kita hanya mampu bertahan di barak2 yang berayun dan terhempas angin kencang dalam gelap gulita tanpa lentera? (3)

bersambung...(pengantar Novel Tsunami...)

Sabtu, 19 November 2011

"Secercah Harapan dari Timnas Aceh"

Meski ditahan imbang 0-0 oleh Tim Villa2000, Timnas Aceh secara umum bermain bagus. Pola bermain mulai tampak. Operan satu dua, passing dan kontrol bola sudah baik. Secara tehnik antar lini boleh dikata sangat merata. Terutama di akhir babak kedua” ujar Azwir Nazar seorang warga Aceh peminat sepakbola di Jakarta

Menurutnya, melawan Tim villa2000 juara Piala Suratin 2010/2011 bisa imbang untuk pertandingan perdana saya pikir wajar. Adik-adik itu juga masih lelah dan baru tiba dari Paraguay, perlu masa adaptasi dan sosialisasi. Baik dari sisi fisik dan juga cuaca.

Cuaca di Paraguay kan berbeda, di Jakarta sangat panas. Ini memperngaruhi konsentrasi pemain di lapangan. Alhamdulillah, adik-adik itu bermain cukup 'ngotot' walau di bapak pertama kesannya masih 'malu-malu'.

Saya melihat ada secercah harapan bagi sepakbola Aceh di tahun mendatang bila mereka terus berlatih dan tidak cepat puas. Fisik mereka lebih bagus dengan tim juara Suratin. Hanya keberuntungan saja tadi tidak bisa mencetak goal. Ada satu peluang bagus diakhir babak kedua yang mengenai mistar gawang. Meski tidak goal, mereka tunjukkan kelasnya” pungkas Azwir yang nonton langsung di Lapangan PTIK Jaksel tadi sore.

Tapi, tentu harapan masyarakat sepakbola Aceh justru lebih besar dari itu. Pelatih, official dan pemain harus menyadari itu, sehingga harus lebih tekun dan terus fokus dan memperbaiki kualitas permainan. Bila tidak, banyak orang akan kecewa. Anda bisa lihat, disini saja banyak teman-teman Aceh yang meluangkan waktu untuk menonton. Azwir juga di dampingi mantan Presiden World Acehnese Association (WAA) Canada, Tgk Hamdani Hamid. Ini Tgk Ham yang WNA aja, pas saya bilang adik-adik Aceh alumni Paraguay, langsung kita menonton langsung.

Sebagai pencinta sepakbola, saya mengapresiasi permainan mereka dan terus memberi supportlah, semoga pertandingan selanjutnya di Aceh bisa mengobati hasrat kebangkitan sepakbola Aceh yang selama ini minim prestasi. Maju terus Timnas Aceh!

 


Penunjukan Pj Jangan Jadi Transaksi Politik

saturday, 12 November 2011
JAKARTA - Pilkada Aceh harus tetap dalam bingkai perdamaian dan berpihak rakyat karena masyarakat harus mendapatkan ruang berdemokrasi dan bebas menentukan pilihan politik sesuai nurani masing-masing.

Pernyataan ini dilontarkan Azwir Nazar, pengamat komunikasi politik dalam diskusi politik dan pilkada di Jakarta, Sabtu (12/11). "Karena demokrasi adalah milik seluruh rakyat Aceh. Bukan saja menjadi konsumsi elit," ujar Azwir dalam rilis yang dikirim Komunitas Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta Raya atau Kompajaya kepada redaksi The Atjeh Post.

Menyinggung soal penundaan pilkada, menurut mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia jika harus ditunda dan penunjukan Pj (Penjabat) gubernur harus independen, dan sebaiknya dari kalangan profesional.

"Yang mengerti persoalan Aceh, terutama menyangkut tahapan-tahapan pilkada. Sehingga kehadirannya dapat menjadi penyejuk hati masyarakat, mampu merangkul semua perbedaan. Hal ini penting supaya pilkada berlangsung kondusif, dan pembangunan Aceh menjadi lebih baik," ujar Azwir.

Menurut dia, penunjukkan Pj bukanlah transaksi politik, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota. "Presiden atau pihak terkait harus arif dan bijak dalam menentukan seorang Pj. Pertimbangannya bukanlah "setoran". Rakyat Aceh butuh penyejuk dan pemersatu. Jangan pecah belah rakyat,” kata Azwir.

Di sisi lain, kata Azwir, penundaan pilkada sedikit banyak akan merubah peta dan konstelasi politik di Aceh. Apalagi dengan bertambahnya pasangan calon pasca putusan sela MK mengenai diperpanjangnya masa pendaftaran calon.

"Lagi pula, kalau pilkada ditunda, maka semua calon posisinya akan sama. Tinggal bagaimana kandidat menyusun strategi pemenangan dan membangun kerja-kerja politik di lapangan."

Selain Azwir, juga hadir sebagai pembicara Teungku Hamdani Hamid dari World Achehnese Association, yang berdomisili di Kanada.

Menurut Hamdani, demokrasi Aceh masih dalam tahapan belajar karena baru keluar dari konflik panjang. “Memang butuh waktu untuk berdemokrasi dan psikologi masyarakat Aceh masih terngiang konflik,” ujar Teungku Ham, panggilan akrab Hamdani Hamid.

Hamdani mengatakan, faktor pemerataan ekonomi juga menjadi indikator penting agar demokrasi Aceh bisa maju dan berkembang. "Karena kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang memiliki kebutuhan hidup sehari-hari."

Diskusi bertema Pilkada Aceh yang bersih, damai dan bermartabat itu dimulai pukul 15.00 WIB hingga 17.45 WIB. Hadir mahasiswa dari berbagai universitas di Jakarta.

"Ini merupakan diskusi rutin bulanan yang diadakan Kompajaya” ujar Harianto Arbiye, ketua panitia. Kompajaya adalah sebuah organisasi mahasiswa dan pemuda Aceh di Jakarta yang dibentuk dengan tujuan sebagai wadah silaturahmi antar mahasiswa Aceh.[]

Rabu, 09 November 2011

Kampanye Tanpa Wali

Oleh Azwir Nazar
Kampanye dengan menggunakan simbol tokoh bukanlah hal baru dalam dunia politik. Terutama di Indonesia. Sebut saja, Seokarno, Presiden pertama Indonesia. Ia menjadi simbol, atribut sekaligus isu kampanye PDI Perjuangan. Sampai sekarang Soekarno masih dikenang dan di-‘dewa’-kan bagi sebagian masyarakat di Jawa. Gusdur bagi kalangan Nahdiyyin dengan Partai PKB-nya juga mendapat tempat istimewa. Bahkan, Soeharto yang dihujat sekalipun, menjadi ikon Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Begitupun SBY, menjadi lokomotif dan faktor penting kemenangan Demokrat pemilu 2009 lalu.

Personalisasi tokoh bagi masyarakat yang menginginkan adanya seorang tokoh akan sangat berpengaruh dalam perolehan suara. Partai atau kandidat akan lebih mudah berkampanye. Tak dapat dipungkiri, ada pula partai yang mengandalkan ideologi dan jaringan. Apalagi, umumnya Partai politik hanya melakukan kerja dan aktivitas politik menjelang pemilu atau pilkada saja. Maka, disinilah peran seorang tokoh menjadi penting dan menentukan dalam isu kampanye. Meski sudah wafat, sosok tersebut akan menjadi simbol spirit dan cita-cita perjuangan. Ia terus hidup sepanjang perjalanan sebuah partai atau sebuah masyarakat yang mengaguminya.

Sosok Hasan Tiro sebagai ikon perjuangan Aceh akan ‘dipertaruhkan’ dalam Pilkada mendatang. Kemenangan besar Partai Aceh (PA) dalam pemilu legislatif 2009 di Aceh tidak terlepas dari ‘jualan’ sosok Hasan Tiro. Begitupun, pilkada 2006 yang memenangkan Irwandi Nazar. Foto dengan Hasan Tiro saat itu, sangat ‘laku’ di masyarakat Aceh kala itu.

Pemilihan isu ini tidak hanya menyangkut semata urusan coblos mencoblos. Lebih dari itu adalah bagaimana menghadirkan romantisme perjuangan. Ketidakikutan PA dalam Pilkada ini juga telah ‘membunuh’ Wali, atau memperpendek usia perjuangannya. Apalagi bila tiada kandidat yang menjadikannya sebagai simbol, atribut atau isu kampanye. Saya yakin kisruh politik ini tidak terjadi bila “peunuetoh Wali” masih ada.

Maka, isu kampanye yang akan diangkat kandidat menjadi hal menarik untuk dikaji. Apa yang diperjuangkan oleh ketiga kandidat dalam meraup dukungan demi mensejahteraan rakyat. Lalu, bagaimana membangun diferensiasi antar ketiganya. Sehingga rakyat layak menggantungkan harapan perubahan dan mata rantai perjuangan Aceh?

Dalam hal isu yang diperjuangkan harus diakui memang PA lebih jelas dan tegas. Baik secara ideologis maupun cita-cita politik. Terlepas, apapun penilaian publik, PA berhasil menjadikan diri mereka berbeda dengan yang lain. Namun, apa yang akan diperjuangkan oleh Irwandi Yusuf, Muhammad Nazar, maupun Abi Lampisang? Atau calon ¬new comer pasca perpanjangan waktu putusan MK. Isu kampanye yang diusung calon gubernur akan mempengaruhi masyarakat di Aceh untuk datang ke TPS dan memilih pasangan calon. Tanpa isu yang menarik banyak orang enggan datang ke bilik pemungutan suara. Apalagi PA tidak mendaftar. Sebagian masyarakat lebih memilih aman di rumah, dibanding berjalan ke bilik pemungutan suara, bila kondisi politik tidak kondusif untuk memilih.

Isu tunda atau boikot pilkada justru lebih kentara di masyarakat.
Mengenang spirit Wali menjadi penting. Ijtihad politik yang dilakukannya dalam usaha meningkatkan martabat Aceh perlu dicontoh dan diteruskan. Sama halnya, sosok Soekarno yang selalu hidup dalam setiap kampanye politik di Indonesia. Foto Soekarno tidak pernah sepi dalam iklan kampanye. Selalu ada, mungkin sampai anak cucu kita. Itu juga bagian dari komunikasi politik PDI Perjuangan untuk melagendakan seorang tokoh.

Komunikasi Politik
Dalam komunikasi politik dikenal 3 macam iklan kampanye. Pertama, Iklan advokasi kandidat, yaitu memuji-muji (kualifikasi) seorang calon. Pendekatan yang dilakukan bisa dengan retrospective policy-satisfaction (pujian atas prestasi masa lalu kandidat), atau benevolent-leader appeals (kandidat memang bermaksud baik, bisa dipercaya, dan mengidentifikasi diri selalu bersama/menjadi bagian dari masyarakat pemilih).

Kedua, Iklan advokasi isu. Biasanya dipasang, oleh pihak independen untuk menyampaikan isu-isu penting (lingkungan hidup, pengangguran, korupsi, kesehatan, dll) yang diarahkan pada satu atau beberapa iklan atau ungkapan-ungkapan kampanye dari satu atau beberapa kandidat. Kedua iklan ini dapat digunakan oleh calon “incumbent”. Sejauhmana klaim program mereka ini akan menjadi isu sentral kampanyenya. Atau bagaimana misalnya sebuah program Pemerintah Aceh yang berjalan bisa dipahami oleh masyarakat luas bahwa itu program Irwandi semata. Atau ide dasar dari seorang Nazar.

Ketiga, Iklan menyerang atau disebut attacking, yakni berfokus pada kegagalan dan masa lalu yang jelek dari kompetitor. Pendekatannya bisa ritualistic (mengikuti alur permainan lawannya, ketika diserang, akan balik menyerang). Ini bisa digunakan oleh new comer seperti Abi Lampisang untuk menjelaskan dirinya berbeda dan layak dipilih pada pilkada Desember 2011.
Dalam budaya Timur, kadang memang attacking itu kurang digunakan. Sebab, menyerang seseorang secara vulgar dianggap tidak atau kurang etis. Maka, muncul teori baru oleh beberapa pakar seperti Effendi Ghazali dengan menambah satu opsi (macam) lagi, yaitu contrasting (memperbandingkan), menyerang tapi dengan memperbandingkan data tentang kualitas, rekam jejak, dan proposal antar-kandidat

Semoga para kandidat memiliki kemampuan untuk membentuk atau menggunakan model iklan kampanye tersebut. Bila itu dikonsep secara matang dan baik, akan sangat mempengaruhi publik untuk memilih. Dan kehadiran sosok Hasan Tiro baik dalam isu, atribut maupun simbol kampanye akan sangat menarik dalam perjalanan sejarah politik Aceh. Lalu, siapa yang berhak menggunakan HT diantara ketiga pasangan itu. Jangan-jangan Pilkada kali ini tanpa kehadiran sang Wali.
*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Politik UI

Demokrasi Tersandera Elit

Oleh Azwir Nazar
Masa depan demokrasi kembali diuji di Aceh. Partai Aceh (PA) sebagai partai pemenang pemilu mengancam memboikot Pilkada 2011. Sebelumnya, Komite Independen Pemilu (KIP) Aceh telah menetapkan hari pencoblosan, yakni pada 24 Desember mendatang. Dan semua tahapan Pilkada dilanjutkan sesuai jadwal setelah sempat mengalami masa colling down selama sebulan di awal Ramadhan lalu.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang didominasi PA tidak mengakui semua tahapan yang berlangsung dan meminta Pilkada ditunda serta penunjukan Plt Gubernur oleh Presiden. Alasannya, terjadi konflik regulasi di Aceh. Rancangan qanun (peraturan daerah) terbaru belum dibahas DPRA. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, menganggap ada upaya menghambat Pilkada dengan cara mengulur waktu.

Akhirnya, Pilkada tetap dilangsungkan. Sebanyak 128 pasangan atau 256 kandidat mendaftarkan diri di seluruh Aceh. Jumlah pasangan calon yang telah mendaftar di KIP kab/kota masing-masing, Aceh Tengah 13 pasangan, Aceh Barat 12, Langsa 10, Lhokseumawe 10, Aceh Singkil 9, Aceh Timur 9, Bener Meriah 7, Aceh Utara 7, Abdya 6, Simeulue 5, Nagan Raya 5, Gayo Lues 4, Aceh Jaya 4, Banda Aceh 5, Aceh Besar 7, Pidie 8 dan Sabang 4 pasangan.

Sedangkan di tingkat provinsi hanya tiga pasangan. Dua melalui jalur independen, yaitu Irwandi Yusuf/Muhyan Yunan dengan Tgk Ahmad Tajuddin/Suriansjah. Sedangkan Koalisi Partai (Demokrat, PPP, dan SIRA) mencalonkan Muhammad Nazar/Nova Iriansyah. Sebagian besar kandidat yang sudah terdaftar tersebut maju melalui jalur perseorangan mencapai 90 pasangan. Dan jalur partai atau koalisi sebanyak 38 pasangan.

Sementara PA tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk tidak mendaftar. Mereka yakin benar KIP Aceh telah “mengangkangi” MoU Helsinki dan UUPA. Sebab, menurut PA, Aceh memiliki kekhususan dan calon perseorangan hanya boleh ada satu kali di Aceh. Untuk itu, DPRA yang didominasi PA meminta penundaan Pilkada sampai konflik regulasi ini selesai. Namun berdasar UU hanya tiga alasan Pilkada bisa jeda, yaitu terjadi bencana alam, stabilitas politik keamanan yang tidak stabil, dan tidak tersedianya uang atau anggaran.

Ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi. Maka, pilkada Aceh tetap lanjut dan KIP merujuk pada qanun lama, yaitu Qanun Nomor. 07 tahun 2006. Dan mengakomodir calon perseorangan sesuai keputusan MK yang membatalkan pasal 256 UUPA.

Kisruh ini tidak lantas berhenti. Aceh terbelah menjadi dua kubu. Satu kubu mendukung Pilkada tetap dilanjutkan. Kubu lainnya meminta pilkada ditunda. Malah, sekarang sedang terjadi pengarahan massa di Aceh untuk memboikot dan menunda Pilkada. Di lain pihak, mereka yang menginginkan Pilkada tepat waktu, juga bersiap-siap menggalang massa. Dan celakanya, pengerahan massa ini ditakutkan akan terjadi radikalisasi antarkubu.

Masa depan demokrasi
Masa depan demokrasi Aceh akan mendapat ujian serius, karena demokrasi Aceh tersandera elite. Kaum elite seolah mereka menjadi penafsir tunggal dengan mengatasnamakan rakyat. Padahal, yang disuarakan adalah kepentingan politik mereka semata. Seringkali rakyat menjadi ‘tumbal’ memuluskan keinginan elite. Perwakilan politik rakyat yang dipilih dalam pemilu pun, belum bekerja maksimal.

Kaum elite bukan saja memasung dan menyandera demokrasi, tapi juga ‘berselingkuh’ dengan dunia usaha dan pemilik modal untuk menguasai ekonomi masyarakat. Ada semacam politik oligarki, dimana kekuasaan dan kesejahteraan hanya berpusat dan melingkar pada penguasa dan orang-orang yang punya akses kepada kekuasaan. Semua berjuang atas nama masyarakat, sementara masyarakat Aceh terimpit oleh dua kekuatan besar, yaitu antara mendukung eksekutif atau legislatif. Inilah pilihan yang sangat sulit, karena bayang-bayang konflik 30 tahun masih terekam jelas di benak.

Elemen sipil
Sisi lain melemahnya fungsi dan peran elemen sipil sebagai poros alternatif masyarakat juga menjadi sebab demokrasi Aceh mengkhawatirkan. Elemen sipil terjebak dukung mendukung kekuasaan dan terlibat politik praktis. Sehingga, kekuatan politik nonpartai yang diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan publik menjadi mati. Institusi yang ada justru menjadi perpanjangan tangan parpol dan penguasa. Hal ini terjadi karena kapitalisasi ekonomi politik oleh kaum elite. Komponen sipil tercerai berai dan terseret mendukung kekuatan politik tertentu. Sehingga, konsolidasi demokrasi yang diharapkan dapat diprakarsai civil society justru tidak terjadi. Ekspektasi rakyat yang besar terhadap perubahan fundamental Aceh dalam 5 tahun ini justru mengalami kebekuan. Yang terjadi justru politik tranksaksional, bukan perubahan.

Pada bagian lain, penyelesaian masalah ala konflik dulu masih mendominasi pikiran dan mindset elite. Statemen yang muncul ke publik seringkali menebar ‘ancaman’ akan kerusuhan dan perang. Sama sekali itu tidak pantas dimunculkan oleh seorang pejabat publik. Sungguh, yang diharapkan masyarakat Aceh setelah damai ini adalah mengisi damai. Jadi, isu utamanya adalah pembangunan dan kesejahteraan. Semua keputusan politik yang diambil sepatutnya didasarkan pada aturan yang ada, dengan mengedepankan akal budi dan prinsip rasionalitas.

Pilkada ini sepatutnya menjadi ujian dan pendewasaan demokrasi bagi Aceh. Para elite harus menyadari kepentingan Aceh yang lebih besar, apalagi pascakonflik dan Tsunami. Sikap mau menang sendiri, baik mempertahankan, maupun merebut kekuasaan haruslah sesuai role of law dan mementingkan masyarakat secara keseluruhan. Jangan sampai keegoisan dan kerakusan elite mengantarkan kembali Aceh ke titik nadir, kembali ke masa gelap dan skenario terburuk, yaitu konflik.

* Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Komunikasi Politik UI, sekjen Ikatan Mahasiswa Pascasarjana (IMPAS) Aceh Jakarta.